Sejak kecil, saya berada di lingkungan yang kental dengan agama. Sejak kecil juga saya diajari bagaimana menutup aurat dan tata cara solat. Dari TK sampai MTs (sama dengan tingkat SMP) teman di lingkungan saya memiliki rutinitas yang sama, sekolah formal kemudian sekolah agama. Meskipun bukan pesantren tetapi ilmu yang diberikan seperti halnya di pesantren. Berbeda dengan waktu Aliyah saya (setingkat SMA), yang memang berada jauh dari rumah dan memang berada di lembaga pesantren.
Kelas 5 SD, kami di lingkungan sudah diajari mengaji kitab kuning gundul, nantinya kami logat (artikan) dengan bahasa Sunda tetapi memakai tulisan Arab, atau disebut juga Arab Pegon. Kitab pertama saya dan lainnya yang seangkatan adalah kitab Tijanuddaruri, kitab yang berisi tema tauhid, sifat-sifat Allah dan Rosulnya beserta dalil aqli dan naqli. Mempelajari bagaimana membaca al-Quran juga bagian terpenting dari agama Islam, tajwid dan tafsirnya juga kami pelajari waktu itu.
Memang benar istilah "belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu". Ilmu yang diberikan pada waktu itu cukup menyerap dan teringat, meskipun memang ada juga yang terlupa dan jangan sampai merasa puas dengan ilmu, apalagi ilmu agama yang merupakan bekal kita nanti di negeri akhirat.
Yang masih sangat teringat adalah ketika waktu Ramadan tiba. Ustadz kami biasanya memberi tahu kegiatan satu bulan penuh itu dengan pasaran. Pasaran adalah mengaji kitab dan harus tamat dalam satu bulan Ramadan itu. Waktu mengajinyapun ditentukan, biasanya setelah Ashar, setelah Subuh, dan setelah Isya.
Entah kitab pertama apa yang dulu dipasarkan, tetapi memang cara mengaji pasaran beda seperti bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadan, Ustadz akan membaca kitab yang nanti para santrinya akan logat dengan cepat, sehingga tulisan kitab-kitab kami sebagian ada yang tidak terlogat, terlewat, dan lebih parahnya logatnya seperti cakar ayam. Kalau ngajinya setelah Isya dan Tarawih, kebiasaan para santri kampung ini paling susah menahan ngantuk yang tak tertahankan, jadi begitulah akhir logatnya, tak terbaca.
Menariknya, ada keringanan dari Ustadz untuk membawa makanan ketika ngaji, istilahnya bawa caneut. Caneut itu dari bahasa Sunda, seperti cemilan untuk menemani ngaji. Ngaji-ngaji, nyaneut-nyaneut, ngantuk-ngantuk. Pas bagian nyaneut hidup dah tuh santri kampung dari tidur, pas bagian ngelogat lagi, tidur lagi dah.
Begitulah santri kampung di usia muda mengisi Ramadan.
Nah, yang terlewatkan. Santri-santri kampung ini punya rutinitas tadarusan bersama selain tadarusan pribadi menjelang Magrib. Kemudian dilanjut dengan buka bersama. Istilah kerennya nih, Ramadan tanpa Bukber bagai ke Mekkah ga ke Madinah. Sebuah rutinitas yang sederhana namun penuh kesan.
Sampai sekarang rutinitas ini masih berjalan, dan ramailah kampung dengan bacaan-bacaan al-Quran.
Tau nih tulisan dan memorynya kental banget, jadi kangen kawan-kawan saya. Teh Enuy, Ida, Teh Lina, Eros, Ita, De Sarah, Arim, Dadang, A Nana, Mamat, Deni, A Ucu, A Mumu.
Salah satu teman, yang jago nundutannya pas ngaji pernah ditinggal lagi sujud di masjid. Gaje bener.