Lihat ke Halaman Asli

Menggalakkan Cinta Aksara Sejak Dini (Literasi)

Diperbarui: 8 September 2015   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, tanggal 8 September 2015 bertepatan dengan International Literacy Day atau yang biasa kita kenal sebagai Hari Aksara Internasional (HAI) yang ke-50. Peringatan ini ditetapkan pada tanggal 17 November 1965 silam berdasarkan Konferensi Tingkat Menteri Negara-negara Anggota PBB di Taheran, Iran oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), dan pertama kali dilakukan pada tahun 1966, berlanjut hingga saat ini.

Hal ini ditunjukkan sebagai bukti kepedulian UNESCO terhadap peningkatan mutu dan kualitas pengetahuan para penduduk dunia, yang notabenenya masih memiliki kuota cukup tinggi dibarisan tuna aksara. Terutama pada kalangan kaum wanita.

Salah satu langkah yang digalakkan di Indonesia, yakni dengan diadakannya Program Kelompok Belajar Paket A. Kemudian, berlanjut dengan terbentuknya Gerakan Membaca Nasional. Hal ini merupakan upaya lanjutan dari gerakan pemberantasan buta aksara secara besar-besaran pada era kepemimpinan Presiden Soekarno tahun 1948 silam.

Teknologi semakin maju dan pengetahuan dunia semakin tak terbatas, serta penduduk terus bertambah dari waktu ke waktu. Tentunya, persaingan yang terjadi antar penduduk dan Negara juga akan semakin ketat. Disinilah peranan penting sebuah literasi, yang dari waktu ke waktu turut mengalami pengembangan makna menjadi sangat luas.

Secara sederhana, literasi memiliki pengertian sebagai kemampuan membaca dan menulis, atau melek aksara. Dan kini literasi memiliki cakupan makna yang lebih luas, hingga bisa diartikan melek teknologi, politik, berpemikiran kritis, serta peka terhadap lingkungan sekitar. Hingga seseorang itu memiliki kemampuan dalam menggunakan informasi tertulis maupun cetak, untuk kemudian mengembangkannya hingga menjadi pengetahuan yang bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat.

Di era globalisasi yang semakin pelik, generasi literat menjadi ujung tombak bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Diharapkan dengan semakin banyaknya generasi literat ini nantinya mampu meminimalisir angka keterpurukan yang melanda sebuah Negara, hingga mampu berdiri sejajar dengan Negara-negara maju lainnya.

Dan tentunya, untuk membangun gengrasi literat, generasi yang cinta aksara, membutuhkan lingkungan dengan litersi yang tinggi pula. Sebagai modal utama untuk mencetak generasi literat yang cermat dan kritis dalam menyikapi berbagai permasalahan yang ada adalah sebuah keluarga yang juga memiliki literasi tinggi. Dengan begitu, kebiasaan melek aksara akan jauh lebih mudah tertanam pada diri anak, yang kemudian menjadi habbit hingga ia dewasa.

Selain itu, lingkungan sekolah dan masyarakat juga diperlukan dalam rangka menggalakkan cinta aksara. Hal ini diutamakan pada-anak-anak yang masih dalam usia tumbuh kembang, dimana rasa ingin tahunya sangat tinggi, dan kecerdasan otak untuk menangkap informasi juga masih dalam taraf yang cukup bagus.

Ketertarikan terhadap bacaan tidak dapat diasah secara konstant. Selalu ada tingkatan-tingkatan yang terkadang juga membutuhkan proses panjang. Dan salah satu hal yang mampu menjadi daya pikat paling tinggi terhadap aksara adalah menciptakan lingkungan yang gemar membaca. Dengan melihat, saraf seorang anak akan terangsang dengan sendirinya untuk kemudian menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Oleh karena itu, marilah kita ciptakan lingkungan yang kondusif sebagai sarana pertumbuhan generasi literat di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline