Lihat ke Halaman Asli

Istanti Surviani

Ibu rumah tangguh yang suka menulis

Setelah 29 Tahun

Diperbarui: 7 Februari 2022   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Close The Care Gap. Mudahkan Akses Layanan Kanker. Saling Jaga, Saling Peduli. Sumber Foto: Dokumen Pribadi.

 

"Life is full of secret. Never thought I would have to go through this cycle. Never thought I would experienced the "nightmare" for most of women in the world, never thought I would be this tough to face this challenge, never thought I would "be friend" with hospital. BUT ABOVE ALL ... I am still grateful. I am the "chosen" one from GOD because He loves me that much."  (@kettydarmadjaja)

Brina sudah lama berkeinginan menjadi dokter. Sebuah profesi yang keren dan bergengsi. Ia memilih kelas IPA saat SMA. Biologi adalah pelajaran favoritnya. Meskipun dia takut dengan darah dan jarum suntik, tidak menyurutkan minatnya untuk mendaftar ke fakultas kedokteran di universitas negeri maupun swasta. Dan dua-duanya gagal. Ia diterima di pilihan kedua, fakultas MIPA.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lebih beberapa menit. Brina sudah berada di ruang operasi bersama perawat yang meminta dirinya untuk mengganti baju dengan baju khas pasien operasi. Bajunya mirip baju laboratorium berwarna hijau. Meskipun di luar hangatnya sang surya erat mendekap permukaan bumi, namun udara dingin menyelimuti seluruh ruang operasi ini.

Brina merasa dirinya cukup tegang. Demi menghalau ketegangan dan bayangan alat-alat operasi, Brina memberanikan diri bercanda dengan perawat. "Taraaa ... Kepala saya gundul kaya Ipin Upin, ya!" Mbak perawat berusaha menghiburnya. "Nggak apa-apa, Bu. Yang penting Ibu semangat untuk sembuh." Kepala Brina yang gundul adalah efek dari kemoterapi. Semua jenis rambut dan bulu di tubuh bisa rontok karenanya.

Brina kembali duduk di kursi roda. Perawat mendorongnya masuk ke kamar operasi. Brina menunduk dan memejamkan matanya. Ia tidak mau terintimidasi dengan peralatan-peralatan medis yang ada di depannya. Biarlah ketenangan hatinya saat ini memperkuat keberaniannya menjalani proses kesembuhan atas penyakitnya. Penyakit kanker payudara yang berhasil disangkalnya selama bertahun-tahun. 

"Tenang, Bu Brina! Sejatinya Ibu tidak sendiri, tidak kesepian. Ada Allah di sisi Ibu. Dia selalu bersama Ibu." Meskipun Brina bersama para dokter dan nakes ruang operasi yang baru dikenalnya saat itu, namun kalimat-kalimat persembahan guru ngajinya itu terngiang terus di telinganya. Ditambah dukungan dan doa banyak orang membuatnya semakin tenang di meja operasi. 

Detak jantungnya berirama cukup harmonis, tidak ada yang saling berebut lebih keras. Saat dokter anastesi hendak menyuntikkan obat bius, Brina mantap berkata siap. Suaminya duduk di ruang tunggu sambil membaca alquran, diselingi doa-doa terbaik untuk istri terkasih. 

Brina berada di sebuah ruangan lain setelah dua jam lebih menjalani pembedahan. Alhamdulillaah semua berjalan lancar. Brina merasa seperti sedang tidur selama dua menit saja. Meskipun kini telah siuman, tetapi kepalanya terasa berat, sulit digerakkan. Hanya kedua netra yang perlahan terbuka dan berusaha membaca situasi di sekelilingnya.

Di sebelah kiri tampak pasien lelaki yang belum sadar. Seorang perawat pria terlihat berjalan mengecek para pasien. Brina berkata pada perawat itu bahwa dia kedinginan. Saat kepalanya bisa digerakkan ke arah kanan, tampaklah sebuah jendela bertabur cahaya keputihan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline