Bu,
Saya ingat, Ibu menangis di depan saya. Ketika itu, Ibu memasangkan kain sarung, melilitkannya di pinggang saya. Kala itu, saya menjelang 30 tahun. Kita hanya berdua: Ibu dan saya. Hari masih pagi dan Ibu menyiapkan pakaian untuk saya, pakaian untuk menjalani prosesi akad nikah.
Ibu sama sekali tidak berkata-kata. Sesekali Ibu menepuk-nepuk kedua pipi saya. Memijit-mijit kedua bahu saya. Juga, mengusap-usap kepala saya. Tanpa kata-kata. Dan, air mata Ibu tanpa henti merembes. Menerobos kedua kelopak mata Ibu, yang mulai berkerut.
Saya hanya diam. Saya ingat, Ibu juga pernah menangis seperti itu, ketika Ibu memasangkan sarung kepada saya untuk pertama kalinya saya pergi shalat Jumat ke masjid. Ibu juga tidak berkata-kata. Segalanya menjelma dalam air mata Ibu.
Bertahun kemudian, Ibu sudah tak kuat lagi berjalan. Ibu lebih banyak di kursi roda. Saya selalu menggendong Ibu, mendudukkan Ibu di kursi roda. Juga, menggendong Ibu dari kursi roda ke jok mobil, tiap kali saya mengajak Ibu melihat-lihat kota.
Ketika Bapak masih ada, Ibu dan Bapak beberapa kali ke masjidil haram di Mekah. Setelah Bapak tiada, kita berdua ke sana. Dari rumah di tanah air, Ibu sudah berkursi roda. Tiap kali pindah tempat, tiap kali itu pula saya gendong Ibu.
Kita melakukan tawaf di lantai dua masjidil haram di Mekah. Satu putaran bisa sekitar satu kilometer. Maka, tujuh putaran, ya tujuh kilometer. Tiap kali ke masjid, tiap kali itu pula kita tawaf berdua di lantai dua. Ibu duduk di kursi roda, saya mendorong kursi roda dari belakang.
Tapak kaki saya melepuh, Bu. Tapi, saya tak ingin mengatakannya kepada Ibu. Saya nikmati perihnya, karena saya menyadari hal itu tidak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan ketika Ibu bertaruh nyawa saat melahirkan saya ke bumi.
Kini, saya beranjak tua, melebihi 60 tahun. Ibu sudah jauh lebih tua, melebihi 80 tahun. Saya di perantauan. Ibu di kampung halaman. Mungkin, Ibu kangen saya gendong ke kursi roda. Yang pasti, saya sangat kangen untuk menggendong Ibu, mengajak Ibu ke sungai kecil yang mengalir di depan rumah kita di kampung.
Sehat-sehat ya, Bu. Semakin tua, semakin terasa dalam maknanya kangen. Maafkan saya, Bu. Semoga kita masih dipertemukan-Nya di Lebaran nanti.