Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Mudik di Seliweran Tongkang Batubara, Sungai Musi

Diperbarui: 12 Mei 2021   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angga, warga Selat Punai di tepi Sungai Musi, Palembang, memandang seliweran tongkang batubara, yang bernilai miliaran rupiah tapi ia hidup di bawah garis kemiskinan. Alangkah ironis. Foto: erwin hadi

Apalah arti mudik bagi seorang Angga. Remaja 15 tahun itu, duduk sendiri di tangga, yang terbuat dari potongan dahan kayu. Beberapa meter di depannya, mengalir Sungai Musi, yang menurut Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumatera Selatan, kedalamannya berkisar antara 10-12 meter. Kedalaman hidup seperti apa yang bisa kita selami dari Angga?

Angga Memandang Tongkang

Lebar Sungai Musi antara 250-504 meter, dengan panjang aliran sungai mencapai 750 kilometer. Di sungai besar yang melintasi Kota Palembang itu, saban hari berseliweran sejumlah tongkang dengan muatan batubara. Muatan tongkang tersebut penuh membubung, membentuk gunungan. Penuh, sangat penuh.

Sebuah tongkang bisa memuat  8 ribu ton batubara untuk sekali jalan. Bisa juga lebih. Tiap hari, ada banyak tongkang yang melintasi Sungai Musi. Ada puluhan, bahkan ratusan ton batubara yang diangkut tiap hari. Nilainya tentulah miliaran rupiah. Remaja 15 tahun bernama Angga itu, hanya bisa memandangi saja.

Sorotan matanya, seakan mewakili ratusan pasang mata warga yang mendiami Selat Punai, yang dilintasi oleh puluhan tongkang batubara tersebut. Kini, Lebaran tinggal hitungan jam. Apalah arti mudik bagi seorang Angga? Ibunya sudah wafat beberapa tahun lalu. Ayahnya pergi entah ke mana dan tak pernah kembali.

Aiptu Jumani, Babinkamtibmas Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, menerima pengaduan warga Selat Punai. Foto: erwin hadi

Dua kakaknya dan dua adiknya kadang pulang, kadang tidak. Sejak kematian sang ibu dan ditinggalkan sang ayah, mereka hidup keleleran di Selat Punai. Numpang tinggal dan numpang makan di penduduk setempat. Padahal, kondisi kehidupan warga sekitarnya, juga serba kekurangan. Sekitar 300 penduduk di Desa Selat Punai, mengandalkan kerja serabutan. 

Desa tersebut merupakan desa yang nyaris terisolir, tergolong desa tertinggal. Senin (10/05/2021) siang lalu, saya berjumpa dengan Angga, secara tak sengaja. Dengan perahu mesin yang disebut ketek, Senin itu saya dengan empat rekan melayari Sungai Musi dari dermaga PT Laut menuju Selat Punai.

Ada Didik Wiratno dan Erwin Hadi dari Reportase News, Budi Tanjung dari CNN Indonesia TV, dan Mada Mahfud dari Ring Satu. Selain kami berlima, ada juga AKP Kusyanto, Kapolsek Gandus Polrestabes Palembang, Aiptu Jumani, Babinkamtibmas Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, dan Mazmur, Ketua RW 06 Selat Punai.

AKP Kusyanto, Aiptu Jumani, dan Mazmur memang mengagendakan kami berkunjung ke Selat Punai. Tujuannya, antara lain, untuk menyaksikan gerakan pencegahan penyebaran Covid-19 di sana. Kami berlima, sejak September 2020, menjadi relawan media di Rumah Sakit Darurat Covid (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.

AKP Kusyanto, selaku Kapolsek Gandus Polrestabes Palembang, terus berupaya mencarikan solusi untuk warga Selat Punai. Foto: erwin hadi

Ironi dari Tepian Sungai Musi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline