Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Seno Gumira, Rahasia Tusuk Gigi

Diperbarui: 11 November 2019   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seno Gumira Ajidarma | dok. istimewa

Dari Bungkus Tusuk Gigi, kita bisa belajar banyak hal. Di bungkusnya, tak selalu diterakan, apa isinya. Kemasan tak selalu menunjukkan isi. Tapi, dari benda sekecil tusuk gigi, orang bisa membangun corporate image secara kreatif.

Budayawan Seno Gumira Ajidarma menggugah kesadaran kita akan hal tersebut. Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu, mengajak kita membongkar makna-makna budaya, pada benda-benda di sekitar kita, yang selama ini mungkin kita abaikan.

Tentang "kemasan tak selalu menunjukkan isi" misalnya. Itu adalah bagian dari cara orang menyembunyikan, apa yang sesungguhnya terjadi. Apa realitas yang sesungguhnya. Juga, cara orang untuk menutupi kebenaran di hadapan publik.

Perilaku yang demikian, bisa kita temukan di banyak tempat, juga di berbagai situasi. Pernyataan pejabat tentang suatu peristiwa, misalnya, seringkali tidak menunjukkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Malah, sang pejabat seringkali dengan sengaja menggiring opini, untuk mengaburkan "apa yang sesungguhnya terjadi." Dan, itu tercermin dari bungkus tusuk gigi, yang di bungkusnya, tak selalu diterakan, apa isinya.

Dengan kata lain, budayawan Seno Gumira Ajidarma tak perlu perbandingan yang besar, untuk mengkritik berbagai kebijakan di negeri ini. Cukup dengan bungkus tusuk gigi, ia menguakkan banyak hal yang membuat kita terkaget-kaget.

Hal di atas adalah bagian dari Pidato Kebudayaan bertajuk Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi. Budayawan Seno Gumira Ajidarma menyampaikan pidatonya pada Minggu (10/11/2019) malam, di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Seno Gumira Ajidarma juga memaparkan, tentang punahnya sejumlah bahasa daerah, karena berbagai kebijakan sosial politik di tanah air. Padahal, bahasa daerah adalah kekayaan budaya negeri ini, yang seharusnya dirawat, sebagai bagian dari pemersatu bangsa.

Artinya, pentingnya kebudayaan, tidak sepenuhnya menyertai berbagai kebijakan sosial ekonomi politik, untuk merawat kebudyaan yang dimaksudkan.

Jakarta, 11 November 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline