Saya ini hanya warga biasa. Bukan siapa-siapa. Membaca saling tuding antara Lukas Enembe dan Lenis Kogoya, saya risau. Yang satu Gubernur Papua, satunya lagi Staf Khusus Presiden untuk Papua. Keduanya berasal dari Papua, tapi bertengkar di media pada saat rakyat Papua sedang membutuhkan suara damai.
Bukan Saatnya Berdebat
Ada sejumlah poin yang menjadi perdebatan Lukas Enembe dan Lenis Kogoya. Pada Jumat (30/08/2019), misalnya. Lenis Kogoya bertanya sekaligus mempertanyakan: Kalau dia menyangkal saya, kenapa dari dulu dia di Papua tidak menyangkal saya? Dia bisa menyangkal di Jakarta. Berarti ini kan penipuan.
Dia yang dimaksud Lenis Kogoya, tentulah Lukas Enembe. Dari bacaan saya, ini adalah balasan atas pernyataan sekaligus pertanyaan Lukas Enembe pada Senin (26/08/2019) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat: Dia mewakili Staf Presiden. Dia kepala suku apa? Mewakili apa? Tidak ada.
Menurut saya, kini bukan saat yang tepat untuk berdebat secara terbuka di media, tentang kesukuan masing-masing. Toh, Lukas Enembe dan Lenis Kogoya kan sama-sama berasal dari Tanah Papua. Duduklah bersama-sama, bicaralah dari hati ke hati. Tunjukkan kepada rakyat yang berasal dari Tanah Papua, bahwa Bapak berdua sesungguhnya satu suara untuk mendamaikan Bumi Cenderawasih.
Pertengkaran Bapak berdua secara terbuka di media, justru semakin memanaskan situasi di tanah kelahiran Bapak. Publik akan bertanya: Bapak berdua yang merupakan elit Papua saja bertengkar, apalagi rakyat yang di akar rumput? Di saat-saat seperti ini, menurut saya, rakyat Papua butuh contoh tentang perdamaian. Mereka butuh teladan dari para elit, bagaimana sesungguhnya wujud kerukunan itu.
Sebanyak dan sekeras apa pun suara yang meminta serta menyuruh rakyat Papua damai, tidak akan ada artinya jika para elit Papua tidak berdamai terlebh dahulu. Hingga hari ini, saya belum membaca di media, para elit Papua duduk bersama, kemudian bicara dari hati ke hati untuk bersama-sama mencari solusi perdamaian bagi Tanah Papua.
Kita tahu, sejak Senin (19/08/2019) lalu, demo serta kerusuhan yang dipicu kasus dugaan rasisme di Malang dan Surabaya, berlangsung di beberapa titik, seperti di Jayapura, Fakfak, Manokwari, dan Timika. Berbagai kerusakan sudah terjadi. Sejumlah nyawa telah melayang. Apakah Bapak berdua masih akan saling tuding serta bertengkar secara terbuka di media?
Satu Perahu untuk Papua
Pada Jumat (30/08/2019), Lenis Kogoya juga bicara tentang 12.000 pegawai honorer di Papua yang belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu, Lenis Kogoya juga menyebut, ada 80.000 orang asli Papua, yang diputus hubungan kerja oleh Freeport. Menurut Lenis Kogoya, Pemerintah Papua seakan tidak memperjuangkan nasib mereka.
Salah satu indikatornya, menurut Lenis Kogoya, ditandai dengan tidak pernahnya Gubernur Papua Lukas Enembe berkirim surat kepada Presiden Jokowi ataupun menteri. Hmmm dalam konteks kritik untuk memperbaiki kinerja Pemerintah Provinsi, menurut saya, apa yang dikemukakan Lenis Kogoya tentulah relevan.