Berkurban, sekaligus merawat lingkungan. Inilah kesadaran kolektif yang menggembirakan. Inilah contoh hakekat berkurban: menjaga harmoni dengan alam. Menyatukan kata dengan perbuatan.
Kisah Siti Hajar yang berlari bolak-balik dari bukit Shafa ke bukit Marwa, selalu kita dengar di tiap khutban Idul Adha. Inilah bagian dari perjuangan, sekaligus pengorbanan seorang Ibu. Dan, berkat rahmat Allah, ditemukanlah air zamzam. Ini menjadi penanda hubungan manusia dengan alam sekitar. Gambaran konkret tentang harmoni kehidupan: manusia dan alam dalam satu kesatuan. Dan, di hari-hari ini, sebagian dari saudara kita, mengekspresikan, bagaimana mereka merawat keharmonisan dengan alam sekitar, sekaligus menebar spirit berkurban.
Bambu Bali, Filosofi Diri
Bali tentulah sangat kita kenal. Bertahun yang lalu, pada Selasa (20/07/2010), saya dapat kesempatan mengenal Bali lebih dalam. Bukan dengan cara menyelam di Gili Tepekong, Pemuteran, atau Tulamben. Tapi, dari kisah serumpun bambu. Yang berkisah, bukan orang sembarangan. Ia adalah Ida Bagus Ketut Arinasa, seorang ahli etnobotani dari Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Bambu, sebagaimana dikisahkan Arinasa, adalah tanaman yang penuh makna bagi warga Bali. Di masa muda, bambu tumbuh bersama dalam satu rumpun. Setelah dewasa dan tua, bambu senantiasa merawat kebersamaan dalam satu rumpun.
Dan, secara bersama-sama pula, tiap batang bambu merunduk ke bumi, meski secara fisik batang-batang bambu itu telah menjulang tinggi. Semua menunduk, merunduk. Saya tertegun ketika Arinasa menyampaikan kisah bambu itu di sela-sela Association for Tropical Biology and Conservation 2010 di Bali. Ketertegunan, juga kekaguman saya, kian bertambah tatkala menyaksikan, betapa kreatifnya warga Bali menganyam bambu menjadi beragam kreasi. Baik sebagai produk dekoratif seperti hiasan dinding, maupun sebagai produk fungsional, seperti kurungan ayam dan besek untuk wadah makanan.
Di hari-hari Idul Adha ini, besek berupa anyaman bambu itu, digunakan warga Bali sebagai wadah daging kurban. Besek bambu tersebut dianyam menyerupai kotak persegi. Sebelum daging kurban dimasukkan, bagian bawah sebelah dalam dialas dengan daun pisang atau daun jati atau dedaunan lainnya. Tujuannya, untuk menahan darah daging kurban menetes keluar. Oh, ya, tiap besek tersebut terdiri dari dua bagian: wadah dan penutup. Seluruhnya berupa anyaman bambu.
Dengan demikian, daging kurban diberikan kepada yang berhak, dalam kondisi terlindung. Karena besek merupakan anyaman, yang masih memungkinkan terjadinya sirkulasi udara, maka daging kurban itu tidak pengap, terjaga kesegarannya. Packaging besek berwujud kotak persegi dengan berpenutup tersebut, memungkinkan untuk ditumpuk beberapa unit, kemudian diikat. Dengan demikian, mekanisme pendistribusiannya pun relatif mudah dan praktis. Secara estetika, besek berisi daging kurban itu, sungguh etnik.
Menyatukan Hati, Sepenuh Hati
Pilihan packaging besek bambu dengan beralaskan dedaunan untuk daging kurban tersebut, tentu saja patut kita apresiasi. Point of view yang paling menonjol di sini adalah warga Bali melakukannya dengan sungguh-sungguh. Mereka bukan hanya berkurban dalam konteks berbagi daging, tapi mereka telah berkurban sepenuh hati. Warga Bali secara kreatif, mengolaborasikan religi, budaya, humanisme, serta kearifan lokal di momen Idul Adha yang istimewa ini. Bahkan, tanpa bersorak gegap-gempita, warga Bali telah mengampanyekan gerakan go green, kembali ke alam, serta hidup harmoni bersama alam.
Dengan kata lain, warga Bali menempatkan berkurban sebagai gerakan kemanusiaan secara luas, berupaya menjaga lingkungan alam demi kehidupan yang lebih baik. Dalam hal ini, meminimalkan penggunaan kantong plastik. Kita tahu, total sampah di Bali mencapai 15.000 meter kubik per hari, 13 persen di antaranya adalah sampah plastik. Meski program kantong plastik berbayar dan gerakan Bali clean and green telah dilakukan dengan gencar, ternyata penurunan jumlah sampah plastik di Bali, sejak 2014 hingga pertengahan 2016, hanya 0,1 persen.
Kecil sekali memang penurunannya. Ini dikonfirmasi oleh I Gede Suarjana, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali, pada Jumat (07/10/2016). Selain menekan penggunaan kantong plastik, upaya untuk memanfaatkan sampah plastik, juga terus dilakukan. Salah satunya, uji-coba sampah plastik sebagai campuran aspal, telah dicobakan di jalan di sekitar kampus Universitas Udayana, Bali. Dengan uji-coba satu lapisan, sudah ada gambaran tentang formula campuran, termasuk tingkat kelengketan campuran aspal tersebut. Uji-coba yang dilakukan di Kampus Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, pada Sabtu (29/07/2017) tersebut, akan dilakukan secara terus-menerus.
Oh, ya, penggunaan besek untuk daging kurban, selain bisa menekan sampah plastik, juga memberi dampak ekonomi kepada para perajin anyaman bambu. Sebagai gambaran, mari kita lihat Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Sosial Madani (DSM) Bali, salah satu lembaga yang menyalurkan hewan kurban di wilayah Bali dan sekitarnya. Pada Idul Adha tahun 2017 ini, DSM Bali menyalurkan 361 hewan kurban. Rinciannya, 109 ekor sapi untuk kurban bersama, 31 ekor sapi untuk kurban perseorangan, 211 ekor kambing, dan 10 ekor domba untuk wilayah di luar Bali. Bisa diperkirakan, berapa banyak besek yang bisa diserap.
Daging Kurban, Daun Jati
Selain di Bali, kampanye go green dengan daging kurban, juga dilakukan warga di Dusun Kauman, Desa Salaman, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Warga di dusun ini membungkus daging kurban dengan daun jati, sebelum dibagikan kepada yang berhak. Daun jati tersebut diambil dari ladang sekitar desa. Gerakan meninggalkan kantong plastik ini, merupakan upaya untuk memanfaatkan potensi yang ada di sekitar. Di samping itu, untuk meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya merawat lingkungan. Di Dusun Kauman, ada warga yang aktif sebagai relawan lingkungan dan mereka pun sudah memiliki bank sampah.