Mengapa Jack Ma? Karena, ialah orang yang paling sukses di dunia e-commerce. Kenapa harus Jack Ma? Karena, ia agresif melakukan ekspansi bisnis. Kenapa bukan yang lain? Karena, ia sudah invest di sini, di Tokopedia sebesar US$ 1,1 miliar. Kenapa kita takut?
Ya, kenapa kita takut? Ia tidak takut gelontorkan uangnya di sini. Bisnis di era global, sudah tidak mengenal batas negara. Tanpa menjadi penasihat e-commerce Indonesia pun, Jack Ma bisa menguasai bisnis digital di negeri ini. Itu kalau ia mau. Sebaliknya, adakah pelaku e-commerce Indonesia yang menolak didanai Jack Ma? Mungkin ada, tapi saya pikir, lebih banyak yang justru bangga dapat kucuran dana dari Jack Ma.
2 Juta dari 59 Juta
Bisnis adalah berhitung. Mari kita berhitung. Menteri Koperasi dan UKM, AAGN Puspayoga, menyebut, saat ini jumlah pelaku UKM kita, kurang lebih 59 juta. Pemerintah menargetkan, 8 juta UKM diharapkan masuk pasar digital hingga tahun 2020. Itu jangka menengah. Untuk jangka pendek, diharapkan 2 juta UKM sudah masuk pasar digital hingga akhir tahun 2018. Nah, silakan hitung, butuh berapa tahun lagi, hingga ke-59 juta pelaku UKM tersebut bisa masuk ke pasar digital?
Dari penelusuran saya, belum ada rencana jangka panjang pemerintah yang menjawab, butuh berapa tahun untuk memasukkan ke-59 juta pelaku UKM tersebut ke pasar digital. Ini menunjukkan bahwa penguasaan pemerintah kita tentang e-commerce memang masih terbatas. Selain itu, ketersediaan dana untuk men-digital-kan ke-59 juta pelaku UKM tersebut, juga terbatas. Ini realitas yang tidak terelakkan: penguasaan terbatas, dana pun terbatas.
Sekarang kita balik, apakah penguasaan Jack Ma tentang e-commerce terbatas? Menurut saya, tidak. Buktinya, ialah orang yang paling sukses di dunia e-commerce saat ini. Apakah ketersediaan dana Jack Ma terbatas? Menurut saya, juga tidak. Buktinya, ekspansi bisnisnya dengan bendera Alibaba, sangat agresif. Dananya disuntikkan ke mana-mana, dengan nilai yang membuat kita geleng-geleng kepala. Dan, jangan lupa, risiko bisnis dari investasi yang agresif tersebut, boleh jadi bisa membuat jantung kita berhenti berdenyut.
Ketika pemerintah meminta Jack Ma menjadi penasihat e-commerce Indonesia, itu artinya pemerintah telah berbagi risiko bisnis dengan Jack Ma. Kenapa berbagi risiko? Karena, kemampuan pemerintah terbatas, untuk menanggung risiko itu sendirian. Dalam konteks bisnis: no gain, no risk. Benefit tidak bisa diraih, tanpa risiko. Ketika pemerintah memutuskan untuk berbagi risiko bisnis dengan Jack Ma, maka pada saat yang sama, pemerintah juga berbagi benefit dengan Jack Ma. Ini konsekuensi logis.
Business is Business
Dari penelusuran saya, pro-kontra penunjukan Jack Ma, masih terus menghangat. Yang pro menilai, Jack Ma bisa memajukan e-commerce kita, sekaligus mempercepat masuknya ke-59 juta pelaku UKM tersebut, ke bisnis digital. Yang kontra menilai, Jack Ma bisa merajalela, menguasai bisnis digital di negeri ini. Menurut saya, tanpa menjadi penasihat e-commerce Indonesia pun, Jack Ma bisa menguasai bisnis digital di negeri ini. Itu kalau ia mau. Dan, tidak ada mekanisme untuk menghalangi Jack Ma, apalagi pemerintah sedang gencar-gencarnya membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya investasi asing. Ya, kan?
Maka, penunjukan Jack Ma, boleh jadi sebagai jalan, agar ilmu dan dana Jack Ma, bukan hanya tercurah kepada perusahaannya saja, tapi juga kepada lebih banyak pegiat e-commerce di Indonesia. Yang dampak lanjutannya, akan mempercepat masuknya ke-59 juta pelaku UKM tersebut, ke bisnis digital. Pola persaingan antar e-commerce di Indonesia, tentu akan berubah. Model kompetisi antar pelaku UKM, juga akan turut berubah. Pertanyaannya, apakah Jack Ma bisa netral sebagai penasihat e-commerce Indonesia? Apakah ia akan lebih condong, lebih banyak melipir ke e-commerce yang sudah ia akuisisi?
Potensi terjadinya conflict of interest, tentu saja ada. Inilah tantangan bagi para pelaku e-commerce kita. Di satu sisi, mereka butuh pencerahan dari Jack Ma. Di sisi lain, ada kecemasan, juga ketakutan, jika timbul persaingan yang tidak sehat, karena keberpihakan Jack Ma pada e-commerce yang sudah ia akuisisi. Bukan hanya itu. Sebagai penasihat e-commerce Indonesia, bukan tidak mungkin, Jack Ma akan memengaruhi regulasi yang akan diterbitkan pemerintah, terkait e-commerce. Ini tantangan bagi para penyelenggara negara.
Dengan kata lain, penyelenggara negara sudah seharusnya menempatkan rekomendasi Jack Ma untuk pelaku e-commerce kita secara keseluruhan. Serta, untuk kebangkitan ke-59 juta pelaku UKM tersebut di bisnis digital. Tapi, jangan lupa, Jack Ma hadir di negeri ini, karena bisnis. Hukum bisnis itu keuntungan, benefit. Ngapain juga Jack Ma jauh-jauh datang ke sini, membawa ilmu dan dana, bila tidak berharap laba. Nah, di tengah prinsip business is business itulah, penyelenggara negara harusnya clear memosisikan diri. Bukan malah larut dalam role of the game Jack Ma.
Performa Pelaku UKM
Detail cakupan otoritas Jack Ma sebagai penasihat e-commerce Indonesia, belum diungkapkan pemerintah ke media. Apakah terbatas pada pelaku e-commerce saja, atau juga masuk ke ranah pelaku UKM, agar produk yang mereka hasilkan relevan dengan kebutuhan market. Saya kemudian menelusuri, untuk mengetahui bagaimana performa pelaku UKM kita. Menurut Achmad Zaky, pendiri sekaligus CEO Bukalapak.com, ada tiga kelemahan UKM kita: struktur belum profesional, belum mempunyai strategi penjualan yang terarah, dan perang harga yang tidak terkendali, hingga pelaku UKM hanya memetik margin yang sangat tipis.