Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Jalan Berliku Mengurus Perizinan di Negeri Ini

Diperbarui: 13 Agustus 2017   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pengurusan perizinan di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Jalan Cianjur, Kota Bandung|Sumber: Tribun Jabar/Gani Kurniawan

Ada 373 jenis izin dari 19 kementerian dan lembaga, yang harus diurus sebuah perusahaan di hulu migas. Padahal, sudah 324 perizinan di 20 kementerian, yang sudah dicabut. Inikah yang disebut Republik [Izin] Indonesia?

Tentang perizinan di hulu migas, sumbernya dari catatan Asosiasi Perminyakan Indonesia (API). Tentang perizinan yang sudah dicabut, itu pernyataan Diani Sadia Wati, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bidang Hubungan Kelembagaan. Silakan menarik napas sejenak, sembari membaca Jokowi: Malu-maluin kalau Urus Izin Harus Berbulan-bulan di Kompas.com, pada Jumat (11/08/2017).

Untuk memperkuat daya saing dan memperkuat posisi Indonesia di industri migas, perizinan di hulu migas terus dibenahi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, telah melakukan pertemuan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan. Sri Mulyani mengatakan, saat ini pemerintah masih menyusun beberapa formulasi yang tepat untuk kelanjutan bisnis Freeport Indonesia. Hal itu ia kemukakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, pada Jumat (11/08/2017). Foto: kompas.com

Evaluasi, Pangkas
Sebagai warga biasa, saya sepakat bahwa negeri ini memang harus dirawat, juga harus dilindungi. Mekanisme perizinan adalah salah satu instrumen untuk tujuan tersebut. Sebaliknya, juga sebagai warga biasa, saya sangat tidak setuju dengan ratusan izin tersebut. Kenapa? Karena, semakin banyak perizinan, negeri ini semakin lamban. Dunia usaha juga menjadi lamban: ke kiri mentok izin, ke kanan terhalang izin, dan ke depan ada ranjau izin. Silakan kembali menarik napas sejenak, kemudian membaca Jokowi Minta Kembali Pangkas Izin Pembangunan Rumah di liputan6.com, juga pada Jumat (11/08/2017).

Dari dua berita tentang Presiden Joko Widodo itu saja, kita tahu, bahwa urusan izin di negeri ini sudah pada tahap mengganggu serta menghambat kemajuan. Maka, dibutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh pihak yang kompeten, untuk mengevaluasi ratusan, bahkan ribuan, izin di institusi masing-masing. Boleh jadi, di masa lalu, izin tersebut relevan, mengacu kepada waktu-tempat-situasi suatu izin dirancang, dibuat, kemudian ditetapkan. Tentu tidak ada salahnya kini dievaluasi. Terutama, tentang relevansi suatu izin dengan situasi-kondisi kini, serta proyeksi 5-10 tahun ke depan.

Sebenarnya, ada banyak alasan yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan evaluasi perizinan. Salah satunya, dari berbagai pengaduan yang masuk ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).  Selaku lembaga negara pengawas pelayanan publik, ORI mencatat, pengaduan terkait investasi dan perdagangan, terbanyak berasal dari DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. Hal itu dikemukakan anggota ORI, Adrianus Meliala, dalam diskusi Ease of Doing Business di kantor Ombudsman di Jakarta, pada Senin (22/08/2016).

Presiden Joko Widodo meminta pengembang di Indonesia untuk mengadu kepada dirinya, jika ada pemerintah daerah yang masih lamban mengeluarkan izin perumahan. Hal itu dikemukakan Presiden saat membuka Pameran Indonesia Properti Expo Tahun 2017, di Hall B, Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat (11/08/2017). Foto: setkab.go.id

Izin, Korupsi  
Ketika setahun kemudian, pada Jumat (11/08/2017), kita masih membaca Jokowi: Malu-maluin kalau Urus Izin Harus Berbulan-bulan di Kompas.com, besar kemungkinan berbagai perizinan di sejumlah wilayah tersebut, belum dievaluasi. Atau, belum sepenuhnya dievaluasi. Dan, ketika kemudian kita membaca Jokowi Minta Kembali Pangkas Izin Pembangunan Rumah di liputan6.com, itu bisa dimaknai bahwa mekanisme perizinan di sejumlah wilayah tersebut belum cukup menjawab tantangan perubahan kini.

Saking gemesnya, Presiden sampai blak-blakan, "Tolong nanti untuk REI, yang masih susah izinnya, yang masih belum dipangkas, tolong diberitahukan kepada saya. Langsung saya telepon gubernur, bupati, dan walikotanya," ujar Joko Widodo pada pembukaan Indonesia Properti Expo 2017 di Jakarta Convention Center (JCC), pada Jumat (11/08/2017).  Sebagai warga biasa, saya bertanya, kenapa ya sejumlah daerah itu, juga daerah lainnya, masih mempertahankan perizinan yang mempersulit dunia usaha?

Bukankah dengan dipermudah, gerak pembangunan bisa lebih cepat, dan rakyat bisa menikmati? Apa yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), barangkali ada korelasinya dengan sejumlah pertanyaan tersebut. PPATK, sejak tahun 2013, menemukan transaksi mencurigakan di rekening sejumlah kepala daerah. Dari penelusuran PPATK, sumber aliran dana mencurigakan itu, biasanya berkaitan dengan penyalahgunaan pemberian perizinan, termasuk perizinan tambang.

Hmmm, mungkin karena terkait aliran dana, makanya 373 jenis izin dari 19 kementerian dan lembaga di hulu migas, masih dipertahankan. Artinya, perizinan menjadi jaring untuk meraup aliran dana. Dengan kata lain, suatu izin dirancang, dibuat, kemudian ditetapkan, demi memuluskan syahwat duit. Akibatnya? Hingga Desember 2015, ada 343 orang (gubernur, bupati, dan walikota) yang tersangkut masalah hukum di kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain penyederhanaan perizinan untuk memudahkan aktivitas bisnis, juga dibutuhkan peraturan serta kebijakan yang berpihak kepada industri lokal. Pemerintah harus serius, kalau ingin melihat industri berdaulat di negeri ini. Karena, pertumbuhan industri yang bisa memajukan sebuah negara. Hal itu dikemukakan Ketua Umum Ikatan Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri Indonesia (ISTMI), Faizal Safa, pada Minggu (06/08/2017). Foto: antara

Perizinan, Birokrasi
Para pemimpin daerah tentu tidak bermain sendiri. Orang-orang pusat di sejumlah kementerian dan lembaga perwakilan, juga turut memainkan instrumen perizinan tersebut. Buktinya, tiap kali ada pemimpin daerah yang dicokok KPK, maka dalam rentang waktu yang tidak lama, ada orang pusat yang ikut dicokok pula. Ini menjadi indikator, adanya rantai pasok antara pusat dan daerah dalam urusan perizinan, yang kemudian berujung pada aliran dana.

Oh, ya, selain 324 perizinan di 20 kementerian yang sudah dicabut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, menyampaikan, ada 3.143 peraturan daerah (Perda) yang juga dibatalkan. Rinciannya, 1.765 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi oleh Menteri Dalam Negeri, 111 Peraturan/putusan Menteri Dalam Negeri yang dicabut/revisi oleh Menteri Dalam Negeri, dan 1.267 Perda/Perkada kabupaten/kota yang dicabut/direvisi Gubernur.

"Tujuan pembatalan perda tersebut, untuk memperkuat daya saing bangsa di era kompetisi. Perda itu merupakan aturan yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat investasi dan kemudahan berusaha," ujar Mendagri Tjahjo Kumolo, pada Senin (20/06/2016). Meski sudah begitu banyak peraturan dan perizinan dicabut, nyatanya ganjalan masih saja terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline