Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Daya Beli vs Potensi Desa vs Ekonomi Desa

Diperbarui: 9 Agustus 2017   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Turut Raharjo, petani tebu dari Desa Clumprit, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Katanya, mayoritas petani tebu di desa, hidup ala kadarnya. Meski tidak sampai kelaparan, namun tidak banyak yang mampu membeli kendaraan bermotor. Daya beli mereka belum berdaya untuk membuat mereka sejahtera. Foto: selocahyo-koran-jakarta.com

Ketika musim bunga tebu tiba
Mereka memotong tangkai gelagah
Dan menjualnya untuk mainan anak

Begitulah cara orang desa mencari tambahan. Begitulah cara musisi balada Franky & Jane menggambarkan nasib buruh tebu, di sebuah pabrik gula, di suatu desa. Buruh itu bernama Siti Julaika, lagu itu dirilis tahun 1982. "Mayoritas petani tebu di desa, hidup ala kadarnya. Meski tidak sampai kelaparan, namun tidak banyak yang mampu membeli kendaraan bermotor," ujar Turut Raharjo, pada Senin (05/06/2017). Ia petani tebu dari Desa Clumprit, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia sudah bertani tebu sejak tahun 1970-an.

Desa Belum Berubah
Tahun 1982 hingga tahun 2017, tentulah sebuah rentang waktu yang cukup panjang. Setidaknya, di rentang itu, sudah 35 kali kita merayakan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan, nasib petani tebu, nampaknya tak kunjung berubah. Mayoritas petani tebu di desa, hidup ala kadarnya, begitu Turut Raharjo, seorang petani tebu, menggambarkan. Gambaran nasib petani tebu di atas, hanyalah salah satu contoh, untuk menggambarkan nasib petani tanaman lain: petani padi, petani palawija, petani garam, dan petani lainnya.

Gambaran nasib petani di desa, seperti nyanyian Franky & Jane dan tuturan Turut Raharjo, mungkin bisa disebut sebagai penggambaran sederhana. Tidak didukung oleh data dan angka, hanya sebatas kata-kata. Mudah dibantah, mudah pula disanggah oleh kaum terpelajar, termasuk oleh mereka yang tengah berkuasa. Okelah, sekarang mari kita cermati gambaran petani yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS). Nilai tukar petani dari Juni 2016 ke Juni 2017, anjlok dari 101,47 menjadi 100,53.

Petani pangan adalah tumpuan harapan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar petani anjlok, upah riil pekerja pertanian pun turun secara beruntun. Kita santap hasil kerja keras mereka, tapi kita belum sepenuhnya paham tentang kehidupan mereka. Nyatanya, kita belum mampu membuat mereka mandiri. Mereka belum berdaya secara daya beli, masih lemah secara ekonomi. Foto: muhamad syahri romdhon-KompasTV

Bagaimana dengan upah petani? Upah riil pekerja pertanian, turun dari Rp 38.130 per hari pada Juni 2015 ke Rp 37.421 per hari pada Juni 2016, kemudian turun lagi menjadi Rp 37.396 di Juni 2017. Artinya, sudahlah nilai tukar petani anjlok, upah riil pekerja pertanian pun turun secara beruntun. Karena angka-angka di atas dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dan itu gambaran secara nasional, maka ya begitulah situasi-kondisi para petani kita di sekitar 75.000 desa di tanah air.

Istilah membangun dari pinggiran dan istilah kebijakan yang berpihak kepada wong cilik, nampaknya masih perlu kita susuri kembali. Bila kita korelasikan dengan nasib petani di atas, mungkin kedua istilah yang kerap digaungkan di berbagai upacara tersebut, langsung buyar setelah upacara selesai. Untuk sekadar memberi sensasi, kata buyar bisa diganti dengan ambyar. Namun, nasib petani tidak sepatutnya dijadikan sensasi. Apalagi cuma dijadikan istilah. Karena, pada petanilah sesungguhnya kita tumpukan harapan, agar kebutuhan pangan tercukupi.

Daya Beli Petani
Di hari-hari ini, orang-orang kota asyik berdebat tentang daya beli. Ada yang dengan nada bertanya: benarkah daya beli menurun? Ada pula yang dengan yakin berkata: daya beli tidak turun. Juga, ada yang sudah mengklaim: daya beli turun. Sebagai orang biasa, saya membaca serta mendengar perdebatan tentang daya beli itu. Mereka bersikukuh dengan argumen masing-masing, juga dengan parameter yang mereka gunakan. Salah? Belum tentu. Benar? Belum tentu juga.

Seorang petani garam sedang membuat tabung penampung air garam di Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara, pada Selasa (02/08/2017). Di sana, harga bibit untuk diekstrak menjadi garam, terlalu mahal yaitu Rp 300.000 per 50 kilogram. Dulu, hanya Rp 100.000. Selisih biaya produksi garam dan hasil penjualan garam, tidak cukup untuk mendongkrak daya beli mereka. Foto: masriadi-Kompas.com

Perdebatan tentang turun atau tidaknya daya beli, dari apa yang saya baca dan saya dengar, menurut saya, tergantung pada siapa yang bicara. Dan, tiap komentator daya beli, tentulah memiliki hidden agenda masing-masing. Sebagai pembaca, ya kita baca semua. Sebagai pendengar, ya kita dengar semua. Baik dari mereka yang menggelontorkan suara penguasa, maupun dari mereka yang berseberangan dengan kekuasaan. Termasuk, dari mereka yang dengan berbusa-busa berkoar, demi dan untuk mendapatkan jabatan.

Bagi saya, anjlok-nya nilai tukar petani dan turun-nya upah riil pekerja pertanian secara beruntun, cukuplah untuk memahami kondisi daya beli petani kini. Dalam konteks wong cilik, sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), upah riil buruh bangunan, turun hampir 2 persen, dari Rp 65.997 per hari Juni 2016 menjadi Rp 64.736 pada Juni 2017. Secara keseluruhan, penurunan paling tajam dialami oleh petani tanaman pangan. Oh My God, bukankah petani pangan adalah tumpuan harapan kita? Bukankah kita semua butuh pangan?

Para komentator daya beli, entah kenapa, tidak tertarik untuk fokus menelaah tentang daya beli petani ini. Apakah karena petani tinggal di desa, hingga nasib mereka tidak relevan untuk diketahui orang kota? Ada memang yang menyebut, nilai konsumsi kelompok petani ini relatif kecil, dalam keseluruhan konsumsi masyarakat. Artinya, nilai konsumsi petani, tidak signifikan pengaruhnya terhadap turun atau tidaknya daya beli masyarakat secara nasional. Karena konsumsi petani nggak ngaruh, maka anjlok-nya nilai tukar petani dan turun-nya upah riil pekerja pertanian secara beruntun, dianulir oleh para komentator daya beli. Sungguh nestapa nasib para petani kita. Sungguh terlalu para komentator daya beli kita.

Anak-anak petani di desa, berjuang mengatasi berbagai hambatan alam untuk mengakses pendidikan. Ini bagian dari upaya petani agar generasi penerus mereka bisa hidup layak, dengan daya beli yang memadai. Spirit anak-anak petani ini menjadi inspirasi kita, dalam konteks menyambut serta merayakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2017 mendatang. Foto: kontan.co.id

Potensi Desa, Nasib Desa
Desa yang didiami para petani, sesungguhnya penuh dengan potensi ekonomi. Sawah dan ladang yang menjadi sumber utama pangan kita, sebagian besar ada di desa. Perkebunan kopi yang menjadi salah satu primadona ekspor kita, juga tersebar di berbagai desa. Komoditas karet yang merupakan produk unggulan ekspor kita, juga adanya di desa-desa. Kayu jati yang tumbuh di hutan jati, yang harga jualnya sangat tinggi, ya adanya di desa juga. Makmur dan sejahterakah warga desa kita?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline