Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Berani Hadapi Sektor Industri Besi Baja China?

Diperbarui: 8 Agustus 2017   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2016, dua perusahaan baja terbesar di China melakukan merger: Baosteel mengakuisisi kompetitornya, Wuhan Iron and Steel. Pemilik mayoritas saham kedua perusahaan tersebut adalah negara China. Merger ini menciptakan perusahaan baru bernama China Baowu Iron and Steel Group. Dengan menjadi raksasa produsen baja di dunia, tidak heran produk baja China membanjiri dunia. Foto: shutterstock.com dari kompas.com

Industri baja dari China saat ini menguasai 50 persen pasar dunia. Semua perusahaan baja dunia menyurati China. Kita marah semua. China sulit sekali dihadapi. Itulah keluhan Purwono Widodo, Direktur Pemasaran Krakatau Steel.

Rentetan keluhan Purwono Widodo itu, saya baca kemarin, Kamis (03/08/2017), di Kompas.com. Ini tentu saja tidak mengagetkan. Kenapa? Karena, kategori industri yang lain sudah mengalami tekanan dari produk China, jauh sebelumnya. Industri mainan anak-anak, misalnya, sudah babak-belur oleh mainan anak-anak buatan China, sejak awal tahun 2010. Terus, sejak akhir tahun 2011, batik buatan China sudah membanjiri pasar Tanah Abang dan pasar lain di tanah air. Industri tekstil dan garmen kita, terdesak. Terus, apa strategi Krakatau Steel?

China Selalu Banjiri Produk

Kita tahu, strategi China tetap konsisten dari tahun ke tahun: membanjiri negara tujuan dengan produknya. Misalnya, pada tahun 2013. Indonesia butuh produk besi dan baja impor, hanya lima juta ton. Apa yang terjadi? China membanjiri pasar Indonesia dengan produk besi dan baja mencapai 10 juta ton. Akibatnya, pasar besi dan baja dalam negeri terdistorsi. Sebagai produsen baja, Krakatau Steel tentu memiliki catatan khusus tentang hal tersebut.

Jadi, meski semua perusahaan baja dunia menyurati China agar mengurangi produksi bajanya, besar kemungkinan China tidak akan mau didikte. Mari kita belajar dari situasi tahun 2013 tersebut. Pada tahun itu, pasar Eropa sedang menciut, hanya mampu menyerap 10 juta ton besi dan baja. Dalam kondisi normal, China memasok pasar Eropa 23 juta ton. Apakah China mengurangi produksinya? Tidak. China justru membanjiri pasar di negara-negara di luar pasar Eropa, agar negara-negara tersebut menyerap 13 juta ton produk, yang tidak terserap oleh pasar Eropa.

Untuk menjadi produsen baja dunia, China menyiapkan 25 pelabuhan sebagai pintu masuk impor bijih besi dari berbagai negara pengekspor, termasuk dari Indonesia. Ada suatu masa, pada periode 31 Desember 2013 sampai dengan 6 Januari 2014, cadangan bijih besi impor di China, berlebih. Ini sebagai penanda, betapa agresifnya China untuk menguasai baja dunia. Foto: m latief-kompas.com

Di era perdagangan bebas kini, sulit bagi negara-negara di dunia untuk mencegah masuknya produk China. Apalagi jika di negara tujuan tersebut, investasi China terbilang dominan. Dalam konteks investasi, lihatlah investasi China di Indonesia. Tahun 2016, posisi China ada di urutan ke-10 di antara negara-negara investor. Hanya dalam setahun, tahun 2017 ini, China melompat menjadi negara investor nomor 3. Di awal tahun 2017, total perusahaan China yang terdaftar di Indonesia, sebanyak 201 perusahaan.

Itu baru perusahaan yang direct berinvestasi dari China. Ada sejumlah perusahaan China lainnya, yang berbasis di Singapura, kemudian berinvestasi di negeri kita. Kalau yang masuk via Singapura itu dicatat sebagai investor China, barangkali posisi China sudah menjadi negara investor nomor 1 di Indonesia. Posisi nomor 1 itu memang diinginkan oleh China. Lihatlah, volume investasi direct China ke Indonesia, dari tahun 2015 hingga pertengahan tahun 2016, melonjak hingga 532 persen. Sekretaris Jenderal Kamar Dagang China di Indonesia, Liu Cheng, pada Rabu (18/01/2017),  mengatakan, China terus berkomitmen untuk menjadi investor nomor satu di Indonesia.

China Tujuan Ekspor Utama

Melihat agresivitas China dalam berinvestasi, mencermati investasi China di Indonesia, maukah China mengurangi produksi bajanya, hanya karena permintaan Krakatau Steel? Atau, hanya karena permintaan pengusaha baja dari negara-negara Asean? Saya pikir, tidak. China bukan negara yang mau didikte, setidaknya dalam urusan perdagangan. Dan, kita tahu, China sangat penting artinya bagi perdagangan Indonesia. Kenapa? Karena, China merupakan negara yang menjadi tujuan utama ekspor non-migas Indonesia.

Pada tahun 2014, perusahaan baja China, Shanxi Haixin and Steel Group, membangun dua pabrik besi baja di Indonesia, dengan menggandeng perusahaan lokal tentunya. Jadi, selain membanjiri pasar Indonesia dengan produk ekspor, China juga memasok kebutuhan baja kita dengan produk baja yang diproduksi di Indonesia. Kedua pabrik tersebut menghasilkan produk super low carbon nickel titanium dan special steel, dengan kapasitas 100 ribu meter ton per tahun untuk satu line produksi. Foto: kontan.co.id

Ekspor non-migas tersebut, meliputi bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati, crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah, perhiasan permata, dan peralatan listrik. Pada Senin (17/04/2017), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suharyanto, mengemukakan, nilai ekspor Indonesia ke China sepanjang kuartal I-2017, mencapai 4,69 miliar dollar AS. Bandingkan dengan nilai ekspor kita ke negara-negara di wilayah Asean: 7,62 miliar dollar AS. Artinya, nilai ekspor kita ke China, lebih dari separuh total ekspor kita ke negara-negara Asean.

Kembali ke baja, kebutuhan China sendiri hanya di kisaran 400-550 juta ton. Sementara, China konsisten memproduksi baja mencapai 800 juta ton per tahun. Dengan demikian, ada 400 juta ton baja China yang diproduksi untuk membanjiri pasar dunia. Bandingkan dengan kapasitas terpasang Krakatau Steel yang saat ini hanya 4 juta ton baja per tahun. Sementara, kebutuhan dalam negeri tahun ini diperkirakan menembus 15 juta ton. Artinya, produksi baja Krakatau Steel masih jauh untuk mampu memenuhi permintaan domestik. Dan, secara finansial, Krakatau Steel terus mencatatkan kerugian, sejak tahun 2012. "Untuk semester kedua tahun ini, kami sudah bisa cetak profit," ujar Dirut Krakatau Steel, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline