Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Naiknya Harga Garam: Ikan Asin vs Opera Ikan Asin

Diperbarui: 31 Juli 2017   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Garam langka, harganya melonjak. Para perajin ikan asin di Kota Tegal, Jawa Tengah, terancam bangkrut. Kondisi ini juga dialami perajin ikan asin di berbagai wilayah tanah air. Para perajin tidak bisa menutupi kenaikan biaya, harga ikan asin pun sulit dinaikkan. Usaha ikan asin ini cukup banyak menyerap tenaga kerja, khususnya warga yang bermukim di wilayah pesisir. Foto: capture dari KompasTV

Sebanyak 80 perajin ikan asin berhenti berproduksi. 800 buruh ikan asin langsung jadi pengangguran. Dan, 90.000 Km pesisir pantai kita jadi penuh tanda tanya: kenapa?

Kita tahu, harga garam sedang melonjak tinggi. Garam beryodium bermerek Zebra, misalnya. Dalam hitungan minggu, harganya melompat dari Rp 15 ribu menjadi Rp 25 ribu, kemudian saat ini sudah di harga Rp 77 ribu. Itu harga per bal, isi 10 bungkus. Itu garam konsumsi. Garam untuk pengasinan ikan, yang semula Rp 1.000 per kilogram, kini melonjak menjadi Rp 5.000. Karena itulah para perajin ikan asin di Tegal, Jawa Tengah, tersebut berhenti berproduksi. Modal mereka tidak cukup untuk membeli garam, demi menjalankan usaha.

Reaktif, Bukan Antisipatif
Lonjakan harga garam, karena pasokan berkurang. Produksi garam dalam negeri menurun drastis. Salah satu penyebabnya, karena cuaca tidak menentu. "Saat ini terjadi anomali iklim, dari awal tahun," ujar Brahmantya Satyamurti, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/07/2017).

Produksi garam sesungguhnya adalah usaha rakyat, yang disebut sebagai petani garam. Di Sampang, Madura, Jawa Timur, misalnya. Ini salah satu sentra produksi garam terluas di Indonesia. Lahan milik petani garam 4.200 hektar, sedangkan milik PT Garam hanya 1.100 hektar. Anomali cuaca tentulah sangat memukul mereka, karena tidak bisa berproduksi maksimal.

Kelangkaan garam dan lonjakan harga garam, sudah dialami perajin ikan asin di Pantai Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, sejak tiga bulan lalu. Sebelumnya, harga garam Rp 75 ribu per karung, isi 50 kantong, satu kantong 1 kg. Bulan lalu, harganya sudah Rp 250 ribu per karung. Akhir Juli ini, harga garam sudah mencapai Rp 400 ribu per karung. Foto: kompas.com

Akibat lanjutannya, kelangkaan garam kemudian memukul para perajin ikan asin. Dua kelompok usaha rakyat yang menjadi sumber penghidupan puluhan ribu rakyat, terguncang. Brahmantya Satyamurti menyebut, KKP akan menggandeng sejumlah pihak untuk melakukan verifikasi terhadap kebutuhan garam nasional. Ini tentu hal yang kontradiktif. KKP tahu bahwa telah terjadi anomali iklim sejak awal tahun, tapi kenapa baru sekarang akan melakukan verifikasi terhadap kebutuhan garam nasional ?

Menurut saya, ini tindakan reaktif, bukan antisipatif. Jika saja verifikasi itu dilakukan di awal tahun, di awal terjadinya anomali iklim, tentu sudah dilakukan eksekusi untuk mengatasi kelangkaan garam seperti saat ini. Lonjakan harga bisa diminimalkan. Artinya, para perajin ikan asin tidak sampai berhenti berproduksi dan para pekerja ikan asin tidak sampai menganggur. Efek domino terhadap usaha rakyat tersebut hendaknya menjadi prioritas KKP, sebagai bagian dari upaya untuk melindungi rakyat.

Data Garam, Satgas Garam
Data tentang kebutuhan garam nasional, baik garam industri maupun garam konsumsi, nampaknya masih simpang-siur. Akurasinya lemah, transparansinya rendah. Akhir Desember 2016, misalnya, hasil rapat lintas instansi pemerintah merencanakan impor garam konsumsi tahun 2017 sebanyak 226.124 ton. Impor itu dilakukan dalam tiga tahap. Kini, di pertengahan 2017, terjadi kelangkaan garam dan lonjakan harga. Sementara, KKP baru akan melakukan verifikasi terhadap kebutuhan garam nasional.

Artinya, tahapan impor tersebut, tidak antisipatif. Tidak menjawab kebutuhan warga dan dunia usaha akan garam. Apakah tidak ada pengawasan di lapangan, untuk mengetahui kondisi terkini? Pada Selasa (10/01/2017), Brahmantya Satyamurti menegaskan, "Sekarang sudah ada Satuan Tugas (Satgas) Lintas Kementerian, untuk mengawasi pergerakan impor garam." Sampai di sini kita tahu, bukan hanya akurasi data tentang garam yang lemah. Pengawasan di lapangan pun kurang berkualitas.

Kelangkaan garam dan lonjakan harga garam, juga dialami perajin ikan asin di Pulau Pasaran, Bandarlampung, Provinsi Lampung. Sebelumnya, harga garam Rp 1.000 per kilogram, kini melonjak menjadi Rp 5.000. Untuk mengasinkan ikan teri sebanyak 100 kilogram, dibutuhkan garam minimal 50 kilogram. Bila jumlah garam dikurangi, ikan asin tersebut akan mudah busuk. Foto: antaranews.com

Kalau saja akurasi datanya kuat serta pengawasan di lapangan cermat, tentu tidak akan terjadi lonjakan harga garam konsumsi dari Rp 15 ribu menjadi Rp 77 ribu seperti di atas. Juga, tidak akan terjadi garam untuk ikan asin, dari Rp 1.000 menjadi Rp 5.000 per Kg. Tentang transparansi? KKP merasa sudah merilis stok garam yang tersedia sampai akhir 2016, mencapai 112.671 ton. Sementara, "Pemerintah belum pernah mengumumkan, berapa jumlah stok garam nasional," tukas Ir. Sujono MM., Kepala Dinas Kelautan Perikanan Pati, Jawa Tengah, pada Rabu (11/01/2017).

Urusan garam nampaknya memang masih simpang-siur. Ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena menyangkut banyak pihak. Bukan hanya sekadar garam untuk kebutuhan memasak sehari-hari, tapi untuk kebutuhan usaha rakyat dan industri, yang sekaligus menyangkut keberlangsungan serapan tenaga kerja. Cucu Sutara, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), pada Selasa (14/02/2017) mengatakan, kebutuhan garam untuk industri dibagi menjadi dua kluster yakni kebutuhan garam untuk industri pangan dan industri non-pangan. Rinciannya, untuk industri makanan dan minuman mencapai 450 ribu ton per tahun, pengasinan 400 ribu ton per tahun, dan untuk penyamakan 50 ribu ton per tahun.

750 Ribu dan 3 Juta Ton
Lebih jauh, Cucu Sutara memaparkan bahwa grand total kebutuhan garam untuk konsumsi di Indonesia per tahunnya mencapai 750 ribu ton, sementara untuk kebutuhan industri mencapai sekitar 3 juta ton per tahun. Dari kebutuhan tersebut kita tahu, industri garam sesungguhnya adalah industri yang memiliki prospek cerah secara ekonomi. Juga, berprospek dalam penyerapan tenaga kerja. Apalagi negeri kita memiliki 90.000 kilometer pesisir pantai, sebagai modal alam untuk mengembangkan industri garam.

Usaha garam dan usaha ikan asin, banyak menyerap tenaga kerja, terutama tenaga kerja perempuan. Di wilayah pesisir, para suami mereka melaut mencari ikan, sementara para istri bekerja sebagai petani garam dan mengolah ikan asin. Kelangkaan garam dan lonjakan harga garam, telah mencampakkan mereka sebagai penganguran. Foto: antarafoto.com

Sayangnya, sekali lagi, sayang banget, industri garam tidak termasuk industri prioritas nasional. Belum diagendakan sebagai industri prioritas. Karena, hingga saat ini, negeri kita masih getol dan asyik menjadi negara pengimpor garam. Di atas kertas, Indonesia masih impor garam industri sebanyak 1,7 juta ton per tahun. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, jumlah impor garam kita sekitar 2,1 juta ton per tahun.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline