Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Bung Karno dengan Io Vivat Nostrorum Sanitas

Diperbarui: 10 Juni 2017   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Taufiq Kiemas (duduk) di bawah pohon sukun yang teduh di Taman Renungan Bung Karno, sekitar lima ratus meter dari rumah pembuangan Soekarno di Ende. Suami Megawati Soekarnoputri itu wafat pada Sabtu (8/6/2013) malam di Singapura, hanya beberapa hari setelah menghadiri peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2013 di Ende. Foto: kompas.com

Bulan Juni adalah bulannya Bung Karno. Presiden pertama kita itu lahir di Surabaya, pada 6 Juni 1901. Pancasila dilahirkan di Ende dan diproklamirkan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Inilah catatan untuk menghormati Sang Proklamator.

Kelimoetoe Toneel Club didirikan Bung Karno sebagai kelompok kesenian. Tiap triwulan, grup kesenian itu mementaskan satu naskah toneel. Ini bila dirata-rata selama empat tahun Bung Karno dibuang di Ende, dengan 13 naskah toneel. Proses berkarya yang sungguh produktif.

Bagaimana kita memaknai Kelimoetoe Toneel Club tersebut? Bagi saya yang lahir jauh setelah Kemerdekaan, kelompok kesenian tersebut sesungguhnya adalah wujud dari pemberdayaan masyarakat. Ya, pemberdayaan masyarakat dalam artian yang sesungguhnya. Lihatlah, rakyat yang direkrut untuk menjadi anggota kelompok kesenian itu adalah mereka yang sama sekali jauh dari atmosfir kesenian.

Melarat dan Masih Terbelakang

Kita tahu, Ende pada tahun 1934-1938 itu, adalah wilayah pesisir yang mayoritas dihuni para nelayan. Untuk mendapatkan gambaran kondisi masyarakat Ende pada masa itu, mari kita simak Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, biografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams, jurnalis Amerika Serikat. “Ende, sebuah kampung nelayan, telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku,” demikian bisa kita baca.

Detailnya?  “Keadaannya masih terbelakang. Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri dalam orang-orang  yang melarat ini,” tutur Bung Karno, sebagaimana dituliskan Cindy Adams. Nah, di tengah masyarakat yang demikianlah Bung Karno mendirikan Kelimoetoe Toneel Club. Para nelayan, tukang jahit, petani, serta kalangan masyarakat kelas bawah lainnya, direkrut Bung Karno untuk menjadi bagian dari grup kesenian tersebut.

Dari situ kita bisa pahami, Bung Karno sesungguhnya hendak memberdayakan masyarakat setempat. Melalui kegiatan kesenian, Bung Karno mendidik mereka, menggugah kesadaran mereka untuk mandiri, serta memotivasi mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan. Gerakan pemberdayaan yang dilakukan Bung Karno di Ende pada tahun 1934-1938 itu, tentulah sangat mengagumkan. Bagaimanapun juga kesenian, kebudayaan, dan pendidikan adalah satu kesatuan yang penting menuju kesejahteraan.

Inspirator Model Pemberdayaan

Model pemberdayaan untuk mencerdaskan rakyat Ende ini, adalah model yang kreatif. Kalangan masyarakat kelas bawah tersebut mendapatkan pendidikan dari Bung Karno, tanpa mereka harus meninggalkan aktivitas sehari-sehari. Bung Karno menciptakan manajemen waktu, melatih para nelayan, tukang jahit, dan petani tersebut mengelola waktu kerja mereka. Dengan strategi demikian, mereka jadi memiliki waktu luang untuk latihan toneel.

Praktis, setiap hari, kelompok kesenian itu berlatih, yang dipimpin langsung oleh Bung Karno. Metode latihan dikembangkan Bung Karno secara kreatif, dengan mengombinasikan permainan toneel dan diskusi. Bisa dikatakan, metode yang diterapkan Bung Karno tersebut setara dengan workshop yang kita kenal kini. Dengan demikian, proses pendidikan dan pelatihan tersebut berlangsung dalam suasana yang menyenangkan.

Betapa tidak menyenangkan. Daniel Dhakidae, pengurus Yayasan Ende Flores (yef), menulis, Bung Karno juga menyertai latihan tersebut dengan nyanyian Io Vivat Nostrorum Sanitas. Menurut Daniel Dhakidae, itu adalah lagu berbahasa Latin, yang bila diterjemahkan berarti sehat dan sejahteralah kawan-kawan kita. Lagu itu tidak lain dan tidak bukan adalah lagu para mahasiswa di Universitas Leiden, Belanda, abad ke-19. Iramanya tidak jauh berbeda dengan lagu Batak, Lisoi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline