Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Bung Karno, Sungai Kehidupan, dan Kedaulatan Pangan

Diperbarui: 11 Juni 2017   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Karno, paling kanan, bercengkerama sembari tertawa bersama enam orang sahabatnya, saat berendam di Sungai Nangaba. Sungai adalah bagian penting dari kehidupan, antara lain, untuk mengairi areal pertanian. Ini berkorelasi erat dengan kedaulatan pangan dan berdikari secara ekonomi, seperti Pidato Trisakti Bung Karno tahun 1963. Foto: rosodaras.files.wordpress.com

Sungai adalah salah satu sisi penting dari kehidupan Bung Karno. Selama empat tahun masa pengasingan di Kota Ende, ia kerap mandi di sungai. Sembari berendam, Bung Karno bercengkerama dengan rakyat, menularkan semangat perjuangan untuk kemerdekaan.

Maka, bila sekali waktu datang ke Kota Ende, sempatkanlah ke Sungai Nangaba. Sungai ini berada di Kabupaten Ende, di selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ya, di sungai itulah Bung Karno kerap berendam bersama rakyat setempat, sembari berbagi cerita tentang pentingnya kemerdekaan. Pada masa pembuangan antara tahun 1934-1938 itu, kawasan seputar Sungai Nangaba sungguh rimbun. Berbagai jenis tanaman liar, tumbuh subur dengan sendirinya. Airnya jernih, banyak bebatuan, dan tidak begitu dalam. Jadi, pada masa itu, betapa enjoy-nya Bung Karno berendam di sana.

Bung Karno dan Sungai Kehidupan

Dari Rumah Pengasingan Bung Karno di Kota Ende, Sungai Nangaba hanya berjarak sekitar delapan kilometer. Untuk ukuran masa lalu, mungkin itu jarak yang cukup jauh. Sekarang, sungai itu relatif dekat untuk dijangkau dengan kendaraan bermotor dari Kota Ende. Sungai Nangaba cukup panjang, sekitar 22 kilometer. Ada sejumlah wilayah yang dilintasi, antara lain, Kecamatan Ende melalui   Desa Mbotutenda, Desa Ja Moke Asa, Desa Riaraja, Desa Rukuramba, dan Desa Ndetundora II. Juga, melewati Kecamatan Ende Utara, khususnya Desa Borokanda.

Ketika beberapa waktu lalu saya berkunjung ke sana, airnya masih jernih, bebatuan pun masih cukup banyak. Tapi sayang, sampah plastik mulai bertebaran di sana-sini. Meski demikian, ada yang menggembirakan: sepanjang bantaran Sungai Nangaba telah dimanfaatkan masyarakat untuk menanam berbagai jenis tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis. Antara lain, mangga, nangka, rambutan, kopi, coklat, kacang panjang, ubi, pisang, pepaya, dan jagung. Juga, ada tanaman keras yang nilai ekonominya lebih: sengon, mahoni, dan cengkeh.

Beginilah kondisi Sungai Nangaba pada musim kering. Kita bisa melihat banyaknya pepohonan yang memiliki nilai ekonomi, yang ditanam warga di sepanjang bantaran sungai. Sebaliknya, bila musim hujan, sungai ini penuh dengan air. Bahkan melimpah. Karena itu peran bendungan untuk menampung air, menjadi vital demi keberlangsungan aktivitas pertanian, perladangan, dan peternakan di kawasan ini. Foto: ooyi.wordpress.com

Memandang aliran Sungai Nangaba yang jernih, mencermati beragam jenis tanaman yang bernilai ekonomis di bantarannya, saya mencoba mereka-reka percakapan Bung Karno dengan rakyat di sana pada tahun 1934-1938 itu. Saya yakin, di antara perbincangan tentang perjuangan kemerdekaan, tentulah Bung Karno juga bicara tentang ekonomi kerakyatan. Ia tentu tak lupa memotivasi rakyat untuk berjuang meraih kesejahteraan. Salah satunya, dengan mengolah air dan tanah di sepanjang Sungai Nangaba, untuk menghasilkan pangan, melalui aktivitas pertanian serta kegiatan perladangan.

Bung Karno dan Tepian Sungai

Oh, ya, Bung Karno sudah mengenal sungai sejak dalam kandungan. Ia langsung menghirup udara dari sungai di awal kelahirannya. Ini bila kita korelasikan dengan Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno. Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 2011, telah menetapkan bahwa rumah yang berada di Jalan Peneleh, Gang IV, No. 40 atau sering disebut sebagai Gang Pandean, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, adalah rumah kelahiran Bung Karno.

Kita tahu, ayah Bung Karno adalah Raden Soekemi Sosrodiharjo. Ia seorang guru, yang kala itu mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali. Di sana, sang ayah menikahi Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Kemudian, mereka memutuskan pindah ke Surabaya. Keduanya naik kapal ke Tanjung Perak, Surabaya, selanjutnya dengan perahu menyusuri Sungai Kalimas, masuk kota, dan berhenti di Dermaga Peneleh, di tepian Sungai Kalimas, anak Kali Surabaya. Kampung Peneleh masa itu sudah dikenal sebagai kawasan yang banyak dihuni oleh warga asal Bali. Makanya kawasan itu kerap juga disebut Kampung Bali.

Rumah Kelahiran Bung Karno di Peneleh ini sudah ditetapkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya. Untuk memperingati kelahiran Pancasila pada 1 Juni, bila tidak memungkinkan untuk datang ke Ende, tak ada salahnya singgah ke sini. Foto: kompas.com

Di rumah di Jalan Peneleh, Gang IV, No. 40 itulah Bung Karno lahir. Lokasinya di tepi Sungai Kalimas. Dengan kata lain, sejak awal kelahirannya, Bung Karno sesungguhnya sudah mengenal sungai. Gemericik air sungai, warga yang memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan kehidupan, adalah bagian dari keseharian Bung Karno masa kecil. Maka, tatkala ia diasingkan ke Kota Ende, Bung Karno dengan leluasa beradaptasi untuk berendam di aliran Sungai Nangaba.

Sungai untuk Ketahanan Pangan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline