Sudahkah Anda menulis tentang bom? Kalau belum, segeralah tulis. Ini momentum yang tepat untuk menulis tentang tragedi kemanusiaan yang sadis, sekaligus bengis. Bila belum ada ide, mari kita sama-sama belajar menulis tentang bom dari Putu Wijaya.
Putu Wijaya pertama kali menulis tentang bom pada tahun 1978, dalam bentuk cerita pendek. Ada peristiwa penting pada tahun itu yang memotivasi Putu Wijaya menulis tentang bom, yaitu pemboman Masjid Istiqlal. Kita tahu, Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat dibangun sejak 24 Agustus 1961, di masa Presiden Sukarno. Sekitar 17 tahun kemudian, baru selesai, yang selanjutnya diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978. Dan, hanya 53 hari setelah diresmikan, Masjid Istiqlal dibom. Bom meledak di area mihrab masjid tersebut pada 14 April 1978.
Menulis dengan Momentum
Ledakan bom di Masjid Istiqlal itu sungguh mengguncang masyarakat. Apalagi, 26 hari sebelumnya, pada 20 Maret 1978, terjadi peledakan bom molotov di sejumlah tempat di Jakarta. Ledakan bom tersebut diikuti dengan pembakaran sejumlah mobil. Pada masa itu sedang berlangsung Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Senayan. Warga cemas dan gaduh menghadapi kedua ledakan bom itu.
Kecemasan serta ketakutan warga akan bom, itulah yang dipotret Putu Wijaya dalam cerita pendeknya, yang berjudul Kalau Boleh Memilih Lagi. Atmosfir kedua ledakan bom di atas, ia tangkap sebagai momentum. Cerpen ini absurd, khas Putu Wijaya, dan sarat makna. Ceritanya, ketika Oki terbangun, ia menemukan bom di sampingnya. Menyangka ini sisa-sisa dari mimpinya, ia acuh tak acuh saja. Ia peluk sang bom seperti layaknya memeluk guling. Oki pun melanjutkan tidurnya. Tatkala ia bangun terlambat esoknya, bom itu hampir menindih kepalanya.
Oki pun cemas dan takut. Ia tak ingin bom itu meledak di kamarnya, yang bisa mengakibatkan ia serta para tetangganya jadi korban. Kemudian, ia bungkus bom itu dengan sarung, lalu membawanya ke lapangan. Para tetangganya mengikuti. Selain karena ada rasa curiga, juga karena melihat perilaku Oki yang aneh. Oki melarang orang-orang mengikutinya. Tapi, semakin dilarang, semakin banyak yang mengikutinya.
Agar orang-orang itu tidak menjadi korban ledakan bom, Oki akhirnya memilih memanjat tiang bendera sembari memeluk bom. Melihat itu, semakin banyak orang berkumpul di lapangan, mengitari tiang bendera. Warga menyuruhnya turun, Oki tidak mau. Akhirnya, petugas menembaknya, hingga bom itu terlepas dari pelukannya dan meledak, menewaskan ratusan orang di lapangan tersebut. Sambil tetap berpegangan di tiang bendera, Oki menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, keluarga serta para tetangganya menjadi korban ledakan bom itu.
Menulis Menantang Logika
Selain piawai memanfaatkan atmosfir ledakan bom, Putu Wijaya terkenal sangat mahir menciptakan konflik dalam karya-karyanya. Mari kita berandai-andai untuk lebih mudah memahaminya. Andai bom itu ia biarkan tetap di kamar tidurnya, berapa banyak korban ledakannya? Lebih sedikit atau lebih banyak dari yang di lapangan? Bisa jadi lebih sedikit secara nyawa, tapi bukan tidak mungkin akan menghanguskan seluruh pemukiman warga. Jadi, sudah tepatkah pilihan Oki membawa bom ke lapangan?
Di sini bisa kita pahami, betapa sebuah cerita pendek, sebuah karya fiksi, sesungguhnya berpeluang besar untuk menggugah kecerdasan. Fiksi bukan hanya mengaduk-aduk perasaan, bukan pula hanya mengharu-biru rasa. Namun, juga bisa menantang logika, menguji keberanian kita melakukan decision. Bukankah sesungguhnya dalam kehidupan ini, tiap saat kita berhadapan dengan pilihan demi pilihan? Dan, seringkali, kita harus mengambil keputusan di saat kita sedang tidak siap memutuskan.
Dari pengalaman saya membaca sejumlah karya Putu Wijaya, saya justru belajar mengasah logika melalui karya fiksinya. Nyaris saya tidak menemukan kebetulan-kebetulan serta situasi yang mengada-ada dalam karyanya. Kalaupun ia menyajikan hal-hal yang absurd, tapi pada akhirnya bisa dicerna dengan logika. Ini berbeda dengan sebagian penulis, yang dalam karya fiksinya cenderung mengabaikan logika, hingga kentara sekali bahwa kita sedang membaca karangan yang benar-benar ngarang.