Tidak ada ibu yang tidak menyayangi anaknya. Benarkah? Dari 702 kasus kekerasan terhadap anak tahun 2016, ternyata 55 persen pelaku kekerasan tersebut adalah kaum ibu. Di sisi lain, sepanjang 2015, terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan: sekitar 881 kasus per hari. Ayo, mari bersama melindungi ibu dan anak.
Catatan kekerasan ibu terhadap anak tersebut, dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporan akhir tahun 2016. Hal itu disampaikan Asrorun Niam Sholeh selaku Ketua KPAI, pada Kamis (22/12/2016), di kantornya, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Padahal, pada 22 Desember itu, kita sesungguhnya sedang memperingati Hari Ibu secara nasional. Sementara, catatan kekerasan terhadap perempuan tersebut, datang dari Komisi Nasional Perempuan. Hal itu diungkapkan Agustina Erni, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dalam diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Royal Kuningan Hotel, Jl. Kuningan Persada, Kav. 2, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Sabtu (3/12/2016).
Bersama Siapkan Calon Ibu
Realitas tentang ibu dan anak di atas, tentulah kenyataan yang menyedihkan. Mari kita mulai dengan menelaah tindak kekerasan yang dilakukan kaum ibu, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada ibu. Sebagai bagian dari rasa hormat tersebut, maka sudah sepatutnya semua pihak saling bahu-membahu mencegah kaum ibu melakukan kekerasan terhadap anak. Demi kehormatan ibu, demi masa depan anak. Salah satu jalan pencegahan tindak kekerasan yang bisa ditempuh adalah dengan mempersiapkan calon ibu, sebelum menjadi ibu. Persiapan tersebut, antara lain, menyangkut usia perkawinan dan pendidikan.
Kita tahu, masih cukup banyak calon ibu yang sesungguhnya belum cukup umur untuk menjadi ibu, tapi sudah menjadi ibu dalam artian yang sebenarnya. Tahun 2015, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat: perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang sudah berkeluarga, 23 persen di antara mereka telah menikah sebelum usia 18 tahun. Ya, sebelum usia 18 tahun. Itu artinya, mereka masih sangat belia, masih butuh bimbingan menjalani kehidupan, tapi sudah harus mengayomi anak yang mereka lahirkan.
Secara emosional, juga secara intelektual, mereka yang 23 persen tersebut, sesungguhnya belum siap menjadi ibu. Bila ditelaah lebih jauh, mereka sendiri barangkali belum ingin untuk menikah. Tapi, orang tua serta lingkungan sosial mereka, telah mendorong mereka untuk menikah. Akibatnya, mereka menjalani rumah tangga dengan kondisi yang belum matang. Belum cukup mampu mengendalikan diri. Belum cukup kuat untuk mengemban tanggung jawab sebagai ibu secara menyeluruh.
Siska Nopriana, mungkin bisa kita sebut sebagai salah satu contoh dari yang 23 persen tersebut. Usianya baru 23 tahun, ketika ia tega menyiksa anak kandungnya sendiri hingga tewas pada Senin (21/11/2016). Anaknya yang malang itu baru berusia 4 tahun. Peristiwa nahas tersebut terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Melihat rentang usia sang ibu dan anaknya, diperkirakan ia menikah pada umur 18 tahun. Bahkan mungkin sebelum berusia 18 tahun.
Bersama Akhiri Kekerasan
Tindak kekerasan yang dilakukan Siska Nopriana terhadap anak kandungnya sendiri, tentulah perbuatan yang di luar akal sehat. Sangat tidak mungkin rasanya seorang ibu sampai tega membunuh anak kandungnya sendiri. Tapi, itulah yang terjadi. Perbuatan Siska Nopriana tersebut menunjukkan kepada kita bahwa ia sebagai ibu belum mampu mengendalikan diri. Salah satu penyebabnya, karena ia masih terlalu belia memasuki gerbang pernikahan.
Menurut saya, menekan angka pernikahan dini adalah bagian dari upaya menurunkan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Artinya, pasangan suami-istri yang memasuki gerbang perkawinan setelah matang secara usia dan emosi, tentulah akan lebih mampu mengendalikan diri. Tidak mudah dikuasai emosi. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi bisa disikapi secara bersama, tanpa harus berujung pada tindak kekerasan.
Oh, ya, selama ini, istilah KDRT lebih mengacu kepada kekerasan antara suami-istri. Dalam kenyataannya, KDRT yang menyangkut kekerasan terhadap anak, sesungguhnya tidak kalah jumlahnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015. Ini sekaligus mencerminkan: anak menjadi korban karena lemahnya pengendalian diri suami-istri. Padahal, tugas utama suami-istri adalah melindungi anak mereka.