Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Spirit Belajar dari Cupas Wetan dan Sumur Jurang, di Lereng Gunung Batu Lawang

Diperbarui: 3 Mei 2016   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munaroh sedang membimbing anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah Matematika di Saung Aksara Sumur Jurang. Suasana kelas malam ini berlangsung secara informal tapi tetap tertib. Ini bagian dari upaya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa yang patut kita apresiasi. Bila anak-anak di perkotaan menambah ilmu dengan ikut bimbingan belajar dan kursus, anak-anak Cupas Wetan dan Sumur Jurang menjalaninya dengan kelas malam. Foto: saung aksara

Senin, 2 Mei 2016, kita rayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sehari sebelumnya, Minggu (1/5/2016), saya sengaja berkunjung ke Cupas Wetan dan Sumur Jurang, Cilegon. Di dua kampung di pinggang Gunung Batu Lawang itu, saya menyerap spirit Ki Hajar Dewantara.

Kampung Cupas Wetan dan Sumur Jurang berada di Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Kota Cilegon dengan bus selama lebih dari tiga jam, menempuh jarak sekitar 104,6 kilometer. Bila dengan kendaraan pribadi, perjalanan bisa dituntaskan hanya satu setengah jam saja. Dari terminal bus Cilegon, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan kota warna merah tujuan Pelabuhan Merak, sekitar 15 kilometer. Melalui Jalan Raya Merak, memasuki kawasan Desa Rawa Arum di kilometer 10, itulah salah satu titik untuk mendaki Gunung Batu Lawang. Ancer-ancernya, tidak jauh dari Kantor Imigrasi Kelas II Cilegon. Dari titik inilah pendakian dimulai.

Saung Aksara Cupas Wetan 

Ini bukan pendakian melalui semak belukar, tapi melewati jalan aspal untuk ukuran satu mobil. Gunung Batu Lawang berada 150 meter di atas permukaan laut. Beruntung, pada Minggu (1/5/2016) itu, ada seorang sahabat yang bermurah hati mengantarkan saya ke Kampung Cupas Wetan dan Sumur Jurang. Musttaqin, nama sang sahabat. Ia memang warga kampung setempat. Dengan mobilnya, kami mulai melakukan pendakian, dari kemiringan jalan 15 derajat, kemudian berlanjut menjadi kemiringan 30 derajat. Jalan yang kami susuri itu bernama Jalan Haji Leman Pintu Air.

cilegon-saung-aksara-oke-2-jpg-57282a040f9773f104539533.jpg

Tiga anak sepulang sekolah, singgah di Saung Aksara Cupas Wetan. Mereka secara bertahap belajar mengoperasikan komputer. Sebagai anak-anak pedesaan, ini adalah proses yang positif bagi mereka untuk tahap awal memasuki ranah teknologi informasi. Dengan demikian, kelak mereka tidak canggung lagi berhadapan dengan perangkat teknologi. Foto: thamrin sonata

Bila berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus mengalah. Misalnya, menepi ke halaman rumah warga, agar mobil yang lain bisa lewat. Dari beberapa kali berpapasan, proses kalah-mengalah itu berlangsung mulus. Tidak ada klakson yang memekakkan telinga, seperti yang terjadi di perkotaan. Tiap pengendara nampaknya sudah saling memahami, saling memaklumi. Suasana yang demikian, sungguh menenangkan, hingga kami tiba di Kampung Cupas Wetan. Di kiri-kanan jalan, sudah padat rumah penduduk.

Di sisi kiri jalan itulah berdiri Saung Aksara. Di sini ada beberapa rak berisi buku bacaan, juga ada beberapa unit komputer. Ini adalah tempat belajar anak-anak Kampung Cupas Wetan, dari sore hingga malam hari. Mereka umumnya masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Sebagaimana dituturkan Musttaqin, di Saung Aksara ini, ada pembimbing yang mengenalkan anak-anak dengan komputer. Juga, ada guru Matematika dan guru Bahasa Inggris.

cilegon-saung-aksara-oke-3-jpg-57282a45737e61a405d5bee1.jpg

Kami berfoto di depan Saung Aksara Cupas Wetan. Dari kiri ke kanan: pengelola harian saung, dua murid yang singgah siang itu, Musttaqin, dan saya. Saung ini terjaga serta terawat dengan baik, hingga anak-anak nyaman belajar di sini. Bagian depan berupa bangunan kayu dan bagian dalam merupakan bangunan dengan dinding tembok. Foto: thamrin sonata

Para guru itu adalah orang-orang yang ikhlas menyisihkan waktu mereka untuk mengajar secara sukarela di Saung Aksara. Pada siang hari, mereka mengajar sebagai guru formal di sekolah dan pada malam hari menjadi guru sukarela di Saung Aksara. Upaya mereka untuk turut mencerdaskan anak-anak bangsa, tentulah patut kita apresiasi. Mereka menjadi pengganti orang tua, membimbing anak-anak tersebut mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di Saung Aksara. Mereka tidak memungut biaya apa pun dari anak-anak itu.

Saung Aksara Sumur Jurang                 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline