[caption caption="Nano Riantiarno (kiri) dan lima pemain Semar Gugat, yang bakal dipentaskan Teater Koma pada 3-10 Maret 2016, di Gedung Kesenian Jakarta. Tata gerak dalam pentas ini ditangani oleh Sentot S., yang menangani koreografi di Teater Koma sejak tahun 1995. Sentot memasukkan unsur beragam gerak ilmu beladiri, yang tentu saja membuat pertunjukkan menjadi atraktif. Foto: Image Dynamics."][/caption]Revisi UU KPK memang ditunda, tapi bukan ditiadakan. KPK memang sudah berganti pimpinan, tapi terus dilemahkan. Budi Gunawan memang tidak menjadi Kapolri, tapi sebagai Wakil Kepala Polri. “Keadaan politik tidak berubah,” ujar Nano Riantiarno, Pimpinan Teater Koma, di Sanggar Teater Koma, Jalan Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta 12330, pada Rabu (24/2/2016).
Untuk keadaan politik yang tidak berubah itulah, Teater Koma kembali mementaskan lakon Semar Gugat, pada 3-10 Maret 2016, di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Nano Riantiarno, penulis naskah sekaligus sutradara Semar Gugat, menilai, apa yang terjadi di hari-hari ini terkait korupsi, nyaris serupa dengan apa yang terjadi selama kurun waktu 20 tahun ke belakang. Maksudnya, sikap yang ditunjukkan pihak yang berwenang, tidak sepenuhnya bertumpu pada penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Hukum di tangan para politisi menjadi lentur, sarat dengan kepentingan politik, menjadi bagian yang paralel dengan agenda politik kekuasaan.
[caption caption="Ratna Riantiarno memotong tumpeng sebagai prosesi segera dimulainya pementasan Semar Gugat. Ratna dan Nano Riantiarno, sepasang suami-istri, yang menjadi lokomotif bagi keberlangsungan Teater Koma. Menurut Renitasari Adrian, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation, yang mendukung pementasan ini: Teater Koma adalah salah satu teater yang konsisten menggelar karya seni pertunjukan, yang apik dan tak lekang dimakan zaman. Foto: image dynamics"]
[/caption]Benarkah Tidak Berubah
Kita tentu masih ingat. Setelah Abraham Samad sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan Polisi sebagai tersangka, Presiden Joko Widodo langsung menonaktifkannya. Sebaliknya, meski Komjen Polisi Budi Gunawan sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka, Presiden Joko Widodo justru mempromosikannya sebagai Kapolri. Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemalsuan dokumen pada Senin (9/2/2015) oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar). Abraham Samad diproses oleh Polisi. Setelah lebih dari setahun sejak ditetapkan sebagai tersangka, hingga hari ini belum ada ujung-pangkalnya.
Bagaimana dengan Budi Gunawan? Sejak Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan gratifikasi pada Selasa (13/1/2015), ia sama sekali tidak pernah diproses oleh KPK. Juga, tidak pernah dinonaktifkan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam konteks konstitusi, Polri dan KPK adalah sama-sama lembaga penegak hukum. Artinya, penetapan tersangka yang dikeluarkan oleh Polri dan KPK sama-sama berlandaskan hukum, sama-sama memiliki kekuatan hukum. Tapi, kenapa Abraham Samad diproses oleh Polisi? Kenapa Budi Gunawan tidak diproses oleh KPK? Paradoksal yang demikianlah yang ditunjukkan pemerintahan Joko Widodo kepada kita, dalam konteks penegakan hukum.
Tidak hanya sampai di situ. Bambang Wuryanto, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) sekaligus Sekretaris Fraksi PDI-P di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan, semua anggota Fraksi PDI-P bulat mendukung revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyebutkan bahwa perintah revisi ini datang langsung dari pimpinan partai berlambang banteng itu. Penegasan tersebut diungkapkan Bambang Wuryanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (8/10/2015).
Pada Jumat (5/2/2016) terungkap, dari 45 anggota DPR dari enam fraksi yang menjadi pengusul Revisi UU KPK: 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan 2 orang dari Fraksi PKB. Kita tahu, Presiden Joko Widodo adalah politisi dari PDI-P. Kita juga tahu, partai politik di atas (PDI-P, Nasdem, Hanura, dan PKB) adalah partai utama pengusung Joko Widodo masuk Istana. Kita pun tahu, 31 dari 45 anggota DPR yang menjadi pengusul Revisi UU KPK tersebut, justru berasal dari partai utama pendukung Joko Widodo. Dari perlakuan Presiden Joko Widodo terhadap KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dan perlakuan partai pengusungnya terhadap UU KPK, kita tahu, keadaan politik memang tidak berubah.
[caption caption="Beberapa pemain Semar Gugat menampilkan cuplikan adegan di hadapan puluhan awak media, yang menghadiri jumpa pers di Sanggar Teater Koma, Jalan Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta 12330, pada Rabu (24/2/2016). Gugatan terhadap korupsi dan monopoli, yang menjadi roh lakon ini, tetap relevan dengan kondisi terkini, meski naskahnya ditulis 21 tahun yang lalu. Foto: image dynamics"]
[/caption]
Kembali Setelah 21 Tahun
Dengan suaranya yang khas, Nano Riantiarno berujar, ”Korupsi dan monopoli, masih tetap terjadi. Yang paling aneh, keadaan politik tidak berubah. Yang salah siapa, rakyat atau pemerintah? Saya melihat, ini penting untuk diberi tahu.” Nano Riantiarno memberi tahu pihak berwenang, juga publik, melalui pementasan teater. Ia pilih lakon Semar Gugat, yang relevan untuk menggugat kondisi terkini, khususnya terkait korupsi dan monopoli. Lakon ini bukanlah naskah baru. Naskah Semar Gugat ditulis dan dipentaskan Teater Koma pertama kali pada 25 November 1995. Ya, sekitar 21 tahun yang lalu.
Berkat Semar Gugat, Nano Riantiarno mendapat penghargaan South East Asia Writers pada tahun 1998 di Thailand. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Putra Mahkota Kerajaan Thailand, Pangeran Maha Vajiralongkorn. Gugatan terhadap korupsi dan monopoli, yang menjadi roh lakon ini, tetap relevan dengan kondisi terkini, meski naskahnya ditulis 21 tahun yang lalu. Nano Riantiarno menjelaskan, lakon Semar Gugat menjadi sarana untuk menyampaikan kritik sosial, dengan kemasan yang kreatif, yang menjadikannya sebagai pertunjukan yang menarik.