Buku tentang Sumpah Pemuda, yang ditulis oleh 24 Kompasianer ini, mendapat kehormatan untuk dibahas oleh Tjiptadinata Effendi, Kompasianer of the Year 2014. Pak Tjip adalah sosok yang relatif komplit dan penuh dimensi, untuk membahas tentang spirit Sumpah Pemuda, khususnya untuk kita yang lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia menjadi bagian yang mengalami secara intens dari tiga komponen penting Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Foto: koleksi pribadi
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Pak Tjiptadinata[1] adalah Kompasianer of the Year 2014. Besok, Selasa (27/10/2015), pukul 15.30 WIB, Tokoh Kompasiana itu datang dari Australia dan akan membahas tentang Sumpah Pemuda, dalam konteks merawat rasa kebangsaan. Diskusi istimewa ini sekaligus menyambut ajang kopdar terbesar Kompasianival 2015.
Event keren itu, akan digelar di Kantor Kompasiana[2], Gedung Kompas Gramedia, Unit II, Ruang Studio Lt. 6, Jl. Palmerah Barat No. 29-37, Jakarta Barat. Bila berminat hadir, silakan daftar di Kompasianer Bedah Buku . Pak Tjip, demikian kita menyapanya, adalah sosok yang sangat relevan untuk bicara tentang Sumpah Pemuda, dalam konteks merawat rasa kebangsaan. Ia lahir di Padang, Sumatera Barat, dengan nama Kim Liong. Dari namanya saja, kita tahu, ada darah Tiongkok yang mengalir di nadinya. Dan, dari tempat kelahirannya, kita juga tahu, Indonesia adalah tumpah darahnya.
Dari Kim Liong ke Tjiptadinata
Lahir dengan nama Kim Liong adalah wujud dari penghormatan orangtuanya kepada para leluhur. Meski demikian, secara administratif, dalam seluruh surat-surat resmi, termasuk Ijazah, Passport, dan Surat Izin Mengemudi (SIM), nama lengkapnya adalah Tjiptadinata Effendi. Ini menunjukkan kepada kita bahwa secara fisik dan batin, Pak Tjip adalah saudara kita, yang se-tanah air serta sebangsa dengan kita. Ia pun senantiasa menulis dalam bahasa Indonesia dan tiada henti menggelorakan semangat cinta tanah air, melalui berbagai tulisannya.
Padahal, kita tahu, sejak tahun 2006, Pak Tjip bermukim di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, setelah Sydney dan Newcastle. Wollongong berada sekitar 80 kilometer sebelah selatan Sydney. Dari tempat yang berbeda benua itu, Pak Tjip senantiasa menebarkan rasa kebangsaan kepada kita, melalui Kompasiana. Yang lebih mengesankan, di sejumlah kolom komentar, Pak Tjip juga kerap menggunakan bahasa Minang. Ini setidaknya merupakan pertanda bahwa Pak Tjip juga senantiasa memelihara kearifan lokal tanah Minangkabau, sebagai tumpah darahnya.
Sampai di sini, kita tahu, Pak Tjip adalah sosok yang relatif komplit dan penuh dimensi, untuk membahas tentang spirit Sumpah Pemuda. Ia menjadi bagian yang barangkali akan lebih intens untuk menggambarkan serta menginspirasi kita, terkait tiga komponen penting Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Semasa remaja, Pak Tjip bersekolah di SMA Don Bosco, Padang. SMA ini didirikan pada 1 April 1952. Sebagai catatan, Agung Laksono adalah angkatan tahun 1964 di sekolah ini. Dalam perayaan 60 tahun Don Bosco, pada Sabtu-Minggu (30-31/8/2014), Agung Laksono[3] mengungkapkan bahwa SMA Don Bosco adalah sebuah sekolah Katolik yang merupakan miniatur Indonesia, dengan banyak kemajemukan.
Bagaimana Pak Tjip menjalani masa kanak-kanak dan remajanya, dengan menyandang nama kecil Kim Liong? Ini tentu terkait dengan proses sosialisasi, yang tercermin pada sikap toleransi lingkungan sosial. Dalam konteks Sumpah Pemuda, tentu hal yang ingin kita dengar dari Pak Tjip adalah aspek toleransi serta rasa kebersamaan yang ia lalui sehari-hari, khususnya di masa kanak-kanak dan remaja. Kita tahu, Sumpah Pemuda adalah kristalisasi dari spirit pemuda berbagai suku, yang bisa dikatakan sebagai salah satu puncak toleransi sosial pemuda kita masa itu.
Para pemuda pendahulu kita itu, tampil beradab serta menghormati adat masing-masing suku, meski mereka masih sangat muda. Meski mereka bukanlah para ketua pemangku adat. Sikap mereka dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II, menunjukkan kepada kita, bagaimana mereka dengan sehati dan sejiwa, mengelola sikap toleransi secara signifikan, bagi kemajuan cita-cita mereka untuk mewujudkan Indonesia. Foto: tempo.co
Toleransi untuk Kemajuan