Dari kiri ke kanan. Di hari Salim Kancil dibunuh, Tijah seperti biasanya mengawali pagi dengan berangkat mencari rambanan, dedaunan untuk pakan kambingnya. Ia sama sekali tidak mendapat pertanda bahwa pagi itu adalah pagi terakhir ia melihat suaminya. Dio Eka Saputra (13), anak Salim Kancil, ingin menjadi polisi. "Saya ingin jadi polisi yang benar-benar melindungi masyarakat kecil," kata Dio, saat ditemui wartawan, pada Sabtu (3/10/2015). Foto: detik.com, tribunnews.com, dan beritajatim.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Ini hari Sabtu, weekend yang disambut banyak keluarga dengan suka-cita. Namun, tidak demikian halnya dengan istri dan anak Salim Kancil. Mereka diburu orang-orang tak dikenal. Istri dan anak para tersangka, mengurung diri di rumah. Sudah berhari-hari mereka tidak sekolah.
Inilah bagian dari pasca konflik, tragedi berdarah tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Belum lagi reda guncangan psikis akibat Salim Kancil dibunuh dengan sadis[1] oleh puluhan orang sekampungnya, guncangan berikutnya datang menyusul. Sejumlah orang tak dikenal, mendatangi Tijah[2], istri Salim Kancil. Perempuan sederhana yang berusia 40 tahun dan buta huruf tersebut, dipaksa menandatangani lembaran surat bermaterai, yang ia sendiri tak paham apa isi dan maksudnya. Karena Tijah tidak bisa membuat tanda tangan, orang-orang itu memaksanya membubuhkan cap jempol. Setelah mendapatkan cap jempol, tiga orang itu pergi meninggalkan rumah almarhum Salim Kancil.
Tijah, Korban Tanpa Perlindungan
Bukan hanya sekali Tijah dipaksa membubuhkan cap jempol oleh sekelompok orang yang berbeda-beda, tapi berkali-kali. Kepada wartawan, Tijah bercerita bahwa ia hanya sekali membubuhkan cap jempol, yaitu di lembaran yang disodorkan tiga orang tak dikenal, yang datang pertama. Itu semata-mata karena ketidaktahuannya. Kepada mereka yang datang kemudian, Tijah menolak, meski mereka juga memaksa. Dalam konteks tragedi berdarah tambang pasir Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur, tersebut, keluarga Salim Kancil sesungguhnya adalah korban ketidakadilan[3], korban pembunuhan oleh mereka yang pro-penambangan pasir ilegal.
Setelah suaminya dibunuh dengan cara yang keji, kepada siapa Tijah minta perlindungan? Atau, siapa yang sepatutnya melindunginya? Adakah mekanisme yang mengatur perlindungan terhadap korban konflik sosial seperti Tijah? Dari sejumlah pemaksaan cap jempol tersebut, kita tahu, tidak ada pihak yang melindunginya. Katakanlah, tidak ada pihak yang mendampingi Tijah, mengingat ia masih trauma dan ia bisa disebut tidak cakap di mata hukum[4], karena buta huruf. Ia memang punya anak yang tinggal bersamanya, yaitu Dio Eka Saputra, yang kini masih duduk di bangku SMP.
Artinya, membiarkan keluarga korban ini sendirian menghadapi pressure, tekanan fisik maupun psikis, tentulah menunjukkan kepada kita, betapa tidak pedulinya pihak berwenang terhadap rakyatnya sendiri. Barangkali perlu dipertimbangkan, adanya bagian di tingkat kecamatan atau kabupaten, yang menangani situasi-kondisi seperti yang dihadapi keluarga Tijah kini. Bukankah desa dan warga desa seperti Tijah di Desa Selok Awar-Awar ini, masih cukup banyak di negeri ini? Setidaknya, Tijah menjadi bagian dari potret kemiskinan dan ketertinggalan, yang hanya mampu menggapai hak-hak kemanusiaan serta hak sosial di batas minimal.
Data yang dikemukakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar[5], pada Senin (27/4/2015), menunjukkan, jumlah desa tertinggal mencapai 39.091 desa, dari 74.093 jumlah desa di Indonesia. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen desa kita, berada dalam status desa tertinggal, yang sebagian warganya membutuhkan bantuan, perlindungan, dan pendampingan, jika menghadapi situasi-kondisi seperti Tijah, istri Salim kancil, ini. Dalam konteks Jawa Timur, sebagaimana dikatakan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, M. Sairi Hasbullah[6], di Surabaya, pada Kamis (17/9/2015), hingga Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur mencapai 4,789 juta jiwa.
Tijah (paling kanan), istri Salim Kancil, menemui para tamu yang berkunjung ke rumahnya. Selain masih trauma setelah pembunuhan suaminya, Tijah kini kesulitan mencari nafkah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Tijah kini hanya mengandalkan santunan dari sejumlah relawan yang peduli terhadap kasus Salim Kancil. Pasangan Salim Kancil dan Tijah adalah potret keluarga yang sesungguhnya penuh dengan keterbatasan. Terbatas secara ekonomi, terbatas pula secara pendidikan. Foto: viva.co.id
Anak Tersangka, Takut Sekolah