Seperti inilah ganasnya para penambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Para penambang bukan hanya merusak, tapi juga memusnahkan lahan persawahan, yang menjadi sumber penghidupan warga setempat. Salim Kancil berjuang hingga nyawanya melayang, dibunuh puluhan orang, di kampungnya sendiri. Padahal, ia inovator yang tangguh, mengubah 10 hektar rawa-rawa di pesisir pantai Watu Pecak, menjadi lahan pertanian produktif. Foto: print.kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Dari Salim Kancil[1], kita bisa belajar, bagaimana mengolah rawa di pesisir pantai, menjadi lahan pertanian. Setelah ia dibunuh pada Sabtu (26/9/2015) lalu, kita tahu, Salim Kancil sesungguhnya inovator pertanian yang mengagumkan.
Presiden Joko Widodo[2] berencana mencetak 1 juta hektar lahan sawah baru. Selain itu, Jokowi juga akan melakukan perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi untuk 3 juta hektar sawah. Semua itu demi ketahanan pangan. Salim Kancil (52) memang bukan Presiden. Bahkan, kabarnya, petani Lumajang, Jawa Timur, itu, seorang yang buta huruf. Meski demikian, secara kecil-kecilan, Salim Kancil bersama 40 warga sekampungnya di Desa Selok Awar-Awar, sudah mulai mencetak sawah baru, sejak tahun 1980-an, jauh sebelum Joko Widodo menjadi Presiden. Menurut cerita Tijah, istri Salim Kancil, yang kabarnya juga buta huruf, ke-40 warga desa itu berhasil menciptakan 10 hektar lahan sawah baru di pesisir Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Nah, sawah yang menjadi sumber penghidupan sedikitnya 40 kepala keluarga itulah yang rusak dan hancur[3] akibat penambang pasir di sana.
Salim, Inovator Pertanian
Wilayah pesisir Watu Pecak memiliki garis pantai yang cukup panjang, mencapai 30 kilometer. Di sana, menurut catatan tahun 2010, ada sekitar 8.500 jiwa, yang sebagian besar menggantungkan hidup mereka di lahan pertanian, sebagai petani. Pada Rabu (7/10/2015) lalu, Sapari (54), seorang petani Desa Selok Awar-Awar, turut diperiksa tim penyidik Kepolisian Resor Lumajang[4]. Ia diperiksa bersama Camat Pasirian, Abdul Basar, Kepala Bagian Ekonomi, Ninis Rachmawati, dan anggota staf Perhutani, terkait dengan penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, yang menjadi sumber konflik antar warga.
Sapari menceritakan, ia memiliki enam petak sawah, yang kalau ditotal, luasnya sekitar 1 hektar. Itu adalah sumber penghidupannya sekeluarga. Akibat penambangan pasir ilegal, sawah seluas itu jadi terendam air laut, hingga tidak bisa ditanami sama sekali. Sebelum ada aktivitas penambangan pasir ilegal, lahan sawah yang diolahnya itu, dapat menghasilkan padi sebanyak 50 karung atau setara dengan Rp 5 juta. Untuk ukuran petani di sana, hasil sawah yang demikian, relatif memadai. Namun, penambangan pasir ilegal, telah memusnahkan sumber penghidupannya, hingga ia mencari makan secara serabutan, demi sekadar menyambung napas.
Nasib yang serupa, juga dialami oleh 40 kepala keluarga, yang mengolah 10 hektar lahan sawah bekas rawa-rawa tersebut. Menurut cerita Tijah, istri Salim Kancil, dari seluas lahan itu, yang mereka miliki adalah 2 hektar. Pada awalnya, area 10 hektar tersebut adalah rawa-rawa, yang kedalamannya setinggi dada orang dewasa. Bersama 40 warga, Salim Kancil dengan telaten menguruk rawa-rawa itu dengan tanah serta pasir. Itu mereka lakukan sejak tahun 1980-an, setahap demi setahap. Bukan hanya tenaga dan waktu yang sudah terkuras untuk itu, tapi juga dana, yang bila dikalkulasi tentu tidaklah kecil. Semua upaya mereka tempuh, demi penghidupan.
Dalam konteks ini, Salim Kancil sebagai inisiator pencetakan sawah baru dari rawa-rawa tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa ia memiliki pemahaman yang tinggi akan alam. Rawa-rawa di pesisir Watu Pecak, yang selama puluhan tahun tersia-sia, berhasil ia olah menjadi lahan persawahan yang produktif. Sedikitnya, 40 kepala keluarga menggantungkan hidup mereka dari area persawahan tersebut. Berbekal dari penghasilan sawah itulah, mereka mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Proses yang panjang dalam menciptakan sawah dari rawa-rawa itu, secara sosial, telah turut meningkatkan interaksi serta intensitas kekerabatan antar warga Desa Selok Awar-Awar. Solidaritas mereka, tumbuh secara alamiah.
Lubang-lubang bekas galian pasir di tepi pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Rabu (7/10/2015). Penambangan pasir pantai di daerah itu, menyebabkan air laut masuk ke darat dan menggenangi sebagian lahan sawah yang dikelola warga. Itu adalah sumber penghidupan warga. Akibat penambangan pasir ilegal, sawah berhektar-hektar jadi terendam air laut, hingga tidak bisa ditanami sama sekali. Foto: print.kompas.com
Salim, Bukit Penahan Ombak