Hingga Minggu (4/10/2015), sudah 24 orang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan dan pembunuhan Salim Kancil dan Tosan di Lumajang. Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, agar segera mengusut tuntas. Tahun 2014, pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lumajang, berupa pajak dari 58 tambang pasir terdaftar, hanya sebesar Rp 75 juta. Sepadankah dengan kerusakan alam dan konflik sosial yang diakibatkannya? Foto: tempo.co
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Salim Kancil[1] dan Tosan adalah korban dari hukum yang tidak kunjung tegak. Penegak hukum silih berganti, tapi penambang pasir ilegal di Lumajang, malah makin menjadi-jadi[2]. Apakah setelah Salim Kancil tewas dibunuh oleh belasan hingga puluhan orang pada Sabtu (26/9/2015), hukum bisa tegak di sana sebagaimana mestinya?
Pertanyaan itu adalah bagian dari pertanyaan publik, juga pertanyaan warga Lumajang, sebuah kabupaten di pesisir selatan Provinsi Jawa Timur. Bupati Lumajang sekarang, As'at Malik, sebelumnya adalah wakil Bupati Sjahrazad Masdar, yang dilantik Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, pada Senin (26/8/2013)[3]. Pasangan Sjahrazad Masdar dan As'at Malik, seharusnya memimpin Lumajang untuk periode 2013-2018. Tapi, karena Sjahrazad Masdar[4] wafat pada Jumat (23/1/2015), maka As'at Malik menggantikan posisinya sebagai Bupati Lumajang.
Pada masa As'at Malik sebagai wakil bupati, tribunnews.com, pada Kamis (26/12/2013)[5], memberitakan bahwa penambangan pasir besi di Lumajang, ditangani oleh beberapa investor. Yang paling besar adalah PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS), yang kabarnya dimiliki investor asal Hong Kong. Untuk pasir kali atau pasir bangunan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang memberikan hak kepada PT Mutiara Halim, untuk menarik retribusi sebesar Rp 5.000 setiap meter kubiknya. Sebagai kompensasi, PT Mutiara Halim menyetor uang sebesar Rp 1,4 miliar setiap tahun ke Pemkab Lumajang.
Presiden Instruksikan Kapolri
Tiga hari setelah Salim Kancil dibunuh secara sadis, Presiden Joko Widodo[6] menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, agar segera mengusut tuntas pelaku pembunuhan tersebut. Hal itu dikemukakan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (29/9/2015). Kemudian, pada Sabtu (3/10/2015), Akbar Faisal[7], anggota Komisi III DPR RI, menjenguk Tosan, korban yang selamat dari pembunuhan sadis tersebut, yang saat itu menjalani perawatan di ruang 13, Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur.
Salim Kancil dan Tosan dikeroyok secara sadis oleh belasan hingga puluhan orang pada Sabtu (26/9/2015) tersebut, karena mereka menolak penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Mereka adalah dua dari sejumlah anggota Forum Petani Anti Tambang asal Desa Selo Awar-Awar, salah satu dari 197 desa yang ada di kabupaten tersebut. Penolakan warga desa atas penambangan pasir, bukan hal baru di sana. Demo warga menolak penambangan pasir, juga bukan hanya kali ini terjadi.
Jauh sebelumnya, pada Jumat (11/5/2012), ratusan warga Desa Wotgalih[8], Lumajang, melakukan unjuk rasa, menolak penambangan pasir besi yang hendak dilakukan PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS), di desa tersebut. Artinya, aktivitas penambangan pasir di Kabupaten Lumajang dan sikap warga terhadap penambangan tersebut, sesungguhnya adalah realitas yang sudah diketahui publik secara luas, sejak lama. Dalam konteks sumber daya alam, Pemkab Lumajang adalah pihak yang memiliki otoritas penuh untuk mengelolanya, agar kekayaan alam tersebut memberi manfaat pada warga setempat dan menjadi sumber pemasukan bagi Pemkab.
Dalam sidang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2014, komponen pemasukan Pemkab Lumajang dari penambangan pasir tersebut, sempat menjadi polemik. Menurut Achmad Jauhari, wakil ketua DPRD Lumajang, periode 2009-2014, pendapatan Pemkab Lumajang dari sektor penambangan pasir, terus merosot, sementara volume pengangkutan pasir diketahui semakin meningkat. Hal itu dikemukakan Achmad Jauhari[9] kepada wartawan, pada Kamis (5/12/2013). Bila hal tersebut dikorelasikan dengan sejumlah penolakan warga, tentu merupakan indikasi bahwa aktivitas penambangan pasir di Lumajang belum sepenuhnya transparan, dalam konteks manfaat untuk warga dan pendapatan Pemkab.
Pada Senin (13/10/2014), Kapolres Lumajang, AKBP Singgamata, menyegel dan menutup 2 lokasi tambang pasir di Desa/Kecamatan Sumber Suko dan Desa Kaliwungu, Kecamatan Tempeh. "Kami tidak akan pandang bulu dalam penertiban tambang ilegal di wilayah Lumajang. Kami akan melakukan penutupan secara bertahap,” ujar AKBP Singgamata, waktu itu. Pada Jumat (25/9/2015), jabatan Kapolres Lumajang resmi diserahterimakan dari AKBP Aries Syahbudin kepada AKBP Fadly Mundzir Ismail, sebagai pejabat pengganti. Foto: beritametro.co.id