Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Bakpia Naik Harga: Oktober 2015 Karena Dollar, Desember 2014 Karena BBM

Diperbarui: 13 September 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bakpia adalah bagian dari napas Yogyakarta. Ada begitu banyak rakyat Yogya yang terlibat dalam proses produksi camilan khas ini. Usaha rakyat ini tumbuh dari rumah ke rumah, menjadi salah satu sumber penghidupan, sejak tahun 1948. Meski 90 persen bahan baku Bakpia adalah tepung terigu yang diimpor, toh secara harga, relatif masih terjangkau oleh orang banyak. Inilah bagian dari kearifan lokal, yang menggerakkan roda ekonomi rakyat. Foto: kompas.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Belum setahun, Bakpia[1] sudah akan naik harga dua kali. Usaha rakyat Yogyakarta ini menjadi cermin, apa sesungguhnya yang terjadi di kelas usaha rakyat. Lonjakan harga tepung terigu, membuat produsen Bakpia tak bisa bertahan dengan harga lama.

Mulai Oktober 2015, harga satu dus Bakpia akan menjadi Rp20.000, sekarang masih diperdagangkan di harga Rp 18.000 per dus. Ini informasi resmi dari Sumiyati, Ketua Paguyuban Bakpia Patuk Sumekar[2], Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, pada Selasa (8/9/2015). Ia nampaknya sengaja mengumumkan penyesuaian harga camilan khas Yogyakarta itu, agar para pembeli tidak kaget. Satu dus yang ia maksud, berisi 20 unit Bakpia. Para pedagang di toko oleh-oleh, sudah dapat dipastikan, akan turut pula menaikkan harga, mungkin menjadi Rp22.000 per dus. Kenaikan berantai, karena mata rantai penjualan, adalah logika ekonomi yang praktis tak terelakkan. Tiap titik, tentulah butuh selisih, yang kemudian dinamakan sebagai keuntungan.

Tepung Terigu Duluan Naik

Kita tahu, 90 persen bahan baku Bakpia adalah tepung terigu. Dan, sang tepung, sudah duluan naik harga, mengikuti gonjang-ganjing nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika rupiah melorot di kisaran Rp 12.000-an, tepung terigu masih bisa dibeli perajin camilan Bakpia dengan harga Rp172.000 per sak, isi 20 kilogram. Tapi, tatkala rupiah terus melorot menjadi Rp14.000-an, sang tepung terigu sudah naik menjadi Rp175-177 ribu per sak. Maka, logika ekonomi pun bekerja: biaya produksi naik, harga pun otomatis naik.

Karena itulah, Paguyuban Bakpia Patuk Sumekar akan menaikkan harga per dus, menjadi Rp 20.000 per Oktober 2015. Tepung terigu memang sangat berkaitan dengan nilai tukar rupiah. Boleh dikata, seluruh tepung terigu dan biji gandum yang ada di Indonesia, dipasok dari luar negeri alias impor[3]. Negara pemasok, antara lain, Turki, Srilanka, Vietnam, India, Australia, dan Amerika Serikat. Dengan demikian, meski Bakpia masuk kategori camilan tradisional khas Yogyakarta, tapi 90 persen bahan bakunya didatangkan dari luar negeri. Dari sisi kuliner, terkait bahan baku utamanya, Bakpia sesungguhnya bagian dari produk roti-rotian.

Meski awalnya roti lebih dikenal sebagai makanan londo, tapi perkembangan zaman telah menggiring sebagian masyarakat kita mengonsumsi roti-rotian, sebagai sumber karbohidrat. Meski belum sepenuhnya menggantikan nasi, tapi nyatanya konsumsi roti-rotian terus meningkat. Demikian juga halnya dengan mie, yang bahan bakunya juga terigu. Ini ditandai dengan terus meningkatnya konsumsi tepung terigu secara nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor tepung terigu[4] pada April 2015, mencapai 7.566 ton. Sejak Januari hingga April 2015, impor tepung terigu mencapai 33.497 ton.

Di satu sisi, kita membatasi impor beras, tapi di sisi lain impor tepung terigu dan gandum terus membubung. Karena yang menanam gandum hanya sedikit, maka tidak ada yang protes, seperti halnya petani padi. Namun, di saat kondisi rupiah seperti ini, segala yang berbau impor, tentulah berpengaruh pada perekonomian nasional. Salah satu indikatornya, cadangan dollar dalam negeri terus menyusut. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat sudah mulai terbiasa melahap roti dan mie. Dulu, ada gerakan mengurangi makan nasi. Akan adakah gerakan mengurangi makan roti dan mie?

Perjalanan waktu telah membuat roti dan mie, menjadi pangan pokok sebagian masyarakat, meski belum sepenuhnya menggantikan nasi. Hal itu dengan sendirinya turut meningkatkan konsumsi tepung terigu secara nasional. Akibat lanjutannya, impor tepung terigu dan biji gandum terus menanjak dari tahun ke tahun. Di tengah rendahnya nilai tukar rupiah saat ini, maka segala sesuatu yang berbau impor, sedikit banyaknya turut memengaruhi perekonomian nasional. Foto: kompas.com

Bakpia Kenaikan Harga Kedua

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline