Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah alasan terkait rendahnya penyerapan anggaran. Menurut Presiden Joko Widodo, adanya proses politik yang harus dilakukan, sehingga menjadi salah satu penyebab serapan anggaran rendah. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, banyak pejabat di daerah takut dikriminalisasi terjerat korupsi karena banyak aturan yang tak jelas. Akibatnya, uang Rp 255 triliun mengendap di daerah dan tak dipergunakan seperti selayaknya. Grafik di atas menunjukkan serapan anggaran di beberapa kementerian. Foto: tempo.co dan bisnis.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Dana Rp 255 triliun mengendap di daerah, kata Menteri Keuangan, Bambang Brojonegoro di Jakarta, pada Senin (13/7/2015)[1]. Dana itu disimpan di bank dan belum diserap untuk pembangunan. Serapan APBD secara nasional sangat rendah. Hingga semester I-2015, hanya 25 persen. Ada apa dengan Pemimpin Daerah? Bagaimana koordinasi Pusat dengan Daerah?
Ketika Joko Widodo jadi Gubernur DKI Jakarta, serapan APBD DKI hingga akhir tahun 2014, juga rendah, hanya di kisaran 30 persen[2]. Setelah Joko Widodo jadi Presiden, hingga semester I-2015, serapan APBN masih di bawah 40 persen. Inilah kinerja Presiden. Inilah kinerja Kabinet Kerja. Rendahnya serapan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rendahnya serapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), menjadi salah satu penyebab melambatnya perekonomian negeri ini. Para pemimpin di pusat dan di daerah, lamban mengeksekusi rencana yang sudah mereka buat. Mereka tidak mencapai target yang sudah mereka tetapkan. Akibatnya, rencana hanya mengendap di laci mereka, dana yang sudah tersedia hanya mengendap di bank. Akibat lanjutannya, perekonomian melambat, daya beli masyarakat melemah, dan rakyat yang harus menanggung perbuatan mereka.
Pemimpin Lemah, Kinerja Rendah
Dalam konteks kepemimpinan, kualitas pemimpin tercermin dari kinerjanya. Dari realitas rendahnya serapan anggaran di atas, kita sama-sama bisa mencermati bahwa kinerja para pemimpin kita ternyata lemah. Mereka tidak mampu mencapai target yang sudah mereka tetapkan sendiri. Mereka tidak mampu mengeksekusi rencana yang sudah mereka rancang sendiri. Tapi, saat ini, mereka adalah pemimpin kita, pemimpin yang telah memiliki legitimasi politis untuk memegang kendali sejumlah kebijakan.
Di ranah eksekutif, Presiden adalah nakhoda bagi Menteri, Gubernur, dan Bupati-Walikota. Menurut A. Tony Prasetiantono[3], Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada (UGM), Presiden Joko Widodo mengeluhkan rendahnya serapan anggaran tersebut di depan 11 pengamat ekonomi yang menemui Presiden di Istana Merdeka, pada Senin (29/6/2015). Wah, nakhoda negara, mengeluh? Ini tentu bukan kabar baik dan bukan pula kabar positif, dalam konteks mengerek kepercayaan pasar yang terus melorot terhadap kinerja pemerintah.
Ketika Joko Widodo jadi Gubernur DKI Jakarta, serapan APBD DKI Jakarta hingga akhir tahun 2014, hanya di kisaran 30 persen. Padahal, kala itu, Joko Widodo menargetkan penyerapan anggaran mencapai 97 persen. Sebagai Gubernur, ia tidak mencapai target yang sudah ia tetapkan. Kini, setelah Joko Widodo menjadi Presiden, hingga semester I-2015, serapan APBN masih di bawah 40 persen. Dengan kemampuan yang rendah, dalam hal penyerapan anggaran, baik semasa menjadi Gubernur dan kini ketika menjadi Presiden, relevankah Joko Widodo menekan Gubernur dan Bupati-Walikota untuk mempercepat serapan anggaran?
Pemimpin adalah contoh, suritauladan bagi mereka yang ia pimpin. Dan, Joko Widodo, dalam konteks penyerapan anggaran, belum patut dijadikan contoh. Ini dilema kepemimpinan di negeri kita. Bahwa dalam penyerapan anggaran, banyak kendala, beragam hambatan, serta bervariasi tantangan, semua itu adalah bagian dari tugas seorang pemimpin untuk menemukan solusi. Tiap provinsi memiliki karakter yang berbeda, hingga berbeda pula tantangan yang dihadapi pemimpin provinsi yang bersangkutan.
Wapres Jusuf Kalla bersama Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan. Pemerintah pusat menekan kepala daerah untuk segera mencairkan dana dekonsentrasi yang dibutuhkan warga. Luhut Panjaitan bahkan mengancam, pemerintah pusat siap menjatuhkan sanksi bagi kepala daerah yang tak patuh. Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat (10/7/2015), mengungkapkan, dengan ancaman itu, sejumlah kepala daerah mulai mencairkan anggaran dana dekonsentrasi sebesar Rp 250 triliun. Sebelumnya, anggaran itu hanya terserap 0,9 persen. Foto: kompas.com
Pemerintah Pusat Ancam Daerah