Setelah membantu pemerintah sebagai Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas), Faisal Basri kemudian diminta untuk membantu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), khususnya men-support tim satuan tugas (satgas) anti-illegal fishing untuk menghapus mafia ikan. Kedekatannya dengan kekuasaan, tidak membuat sikap kritisnya tumpul. Ia menjaga kredibilitasnya dan tidak terseret untuk ikut-ikutan memuja-muja penguasa. Foto: kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Membantu pemerintah dan tetap kritis terhadap pemerintah. Ini bukan hal yang mudah. Tapi, Faisal Basri telah menunjukkan kepada kita bahwa ia tetap mampu menjaga sikap kritisnya terhadap pemerintah, meski ia cukup dekat dengan rezim penguasa saat ini. Di Habibie Center Jakarta, Senin (15/6/2015) lalu, misalnya, Faisal Basri dengan tegas menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo lebih neolib daripada Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak kebijakan Joko Widodo menetapkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mengikuti mekanisme pasar, sejumlah tudingan bahwa Jokowi neolib, bermunculan dari sejumlah pihak. Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) Universitas Gadjah Mada (UGM), Awan Santosa, misalnya, mengatakan, ada beberapa indikasi pada kebijakan-kebijakan ekonomi, yang memperlihatkan tersanderanya pemerintahan Jokowi oleh agenda neolib. Hal itu dikemukakan Awan Santosa pada Minggu, 1 Februari 2015.
Neolib Versi Akademisi vs Neolib Versi Penguasa
Awan Santosa dari Universitas Gadjah Mada dan Faisal Basri dari Universitas Indonesia. Mereka sama-sama akademisi dan mereka sama studi tentang ekonomi. Prinsip neoliberalisme, tentulah bukan hal baru bagi mereka. Ketika mereka bicara, ada konteks yang melatarinya. Sebagai masyarakat kampus, masyarakat ilmiah, mereka memiliki tanggung jawab ilmiah. Bukan saja kepada institusi pendidikan yang menaungi, mereka juga bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan.
Demikian pula dengan Kepala Staf Kepresidenan, Luhut Pandjaitan, yang mengklaim bahwa tak ada satu pun program pemerintah berkiblat pada paham ekonomi neoliberal. Program Jokowi, tambah dia, justru pro-kepentingan rakyat. "Saya ingin mengundang, kalau ada yang mengatakan program Pak Jokowi neolib, ngerti nggak dia neolib itu apa? Saya pingin tahu definisi neolib dan yang mana program yang neolib itu," kata Luhut Pandjaitan di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (31/3/2015).
Dalam konteks mencerdaskan rakyat, untuk apa tunggu waktu lagi? Luhut Pandjaitan bisa segera melayangkan undangan kepada Faisal Basri dan Awan Santosa. Di ruang publik, Faisal Basri dan Awan Santosa bisa mempresentasikan serta memaparkan, apa yang mereka maksud dengan neolib dan kebijakan ekonomi Joko Widodo yang mana yang masuk kategori neolib. Di forum publik tersebut, Luhut Pandjaitan, yang mengklaim bahwa tak ada satu pun program pemerintah berkiblat pada paham ekonomi neoliberal, tentu juga bisa memaparkan pemahamannya.
Masyarakat umum, masyarakat kampus, dan para pelaku ekonomi tentu akan dicerahkan oleh pemaparan publik tersebut. Momentum itu juga bisa menjadi mekanisme saling isi antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dan kampus sebagai institusi pendidikan. Toh, bangsa ini kan milik semua lapisan masyarakat, bukan hanya milik rezim Joko Widodo yang kini tengah berkuasa. Keberadaan era keterbukaan, era transparansi, dan era reformasi, tak bisa dilepaskan dari kontribusi masyarakat kampus.
Arus global demikian deras. Tiap pemerintahan di tiap negara dituntut harus cermat menyerap dinamika global untuk kemudian diaplikasikan di negara masing-masing. Tidak ada negara yang bisa menghindar dari pergaulan internasional dan pengaruh arus global. Bagaimana pengelola negara mengelola kontradiksi di dalam negeri masing-masing, ketika berhadapan nilai-nilai global? Itulah tantangannya dan di situ pulalah seninya para politisi beraksi. Foto: 2.bp.blogspot.com
Neolib Versi Profesional