Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Siapa Manusia? Siapa Siluman? Teater Koma Menjawab

Diperbarui: 29 Februari 2016   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1427284025297794160

[caption id="attachment_357354" align="aligncenter" width="661" caption="Ini produksi Teater Koma ke-139, sejak berkiprah 38 tahun lalu. Ditulis dan disutradarai Nano Riantiarno dengan sang istri, Ratna Riantiarno, sebagai pemimpin produksi. Pentas ini didukung Bakti Budaya Djarum Foundation (BB-DF). Menurut Program Director BB-DF, Renitasari Adrian, Teater Koma telah melahirkan banyak seniman berbakat, karena grup teater ini konsisten mengembangkan seni pertunjukan Indonesia dengan ide-ide yang berkualitas. Foto: Image Dynamics PR "][/caption]

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Ada orang yang nampak baik, ternyata kemudian jadi pembunuh yang sadis. Ada orang yang terkesan taat beribadah, ternyata merupakan koruptor kakap. Apakah orang semacam itu manusia atau mereka sesungguhnya siluman?

Teater Koma bukan hendak menciptakan teka-teki. Tapi, grup teater kenamaan Indonesia ini berupaya menggugah kesadaran kita untuk mencermati sosok manusia dalam arti yang sesungguhnya. Grup teater ini pada 1 Maret lalu, genap berusia 38 tahun. Upaya mencermati sosok manusia itu, dilakukan Teater Koma melalui pentas teater Opera Ular Putih, 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Mendobrak Era Pencitraan

Opera Ular Putih ini memang bukan cerita asli Indonesia. Ini kisah klasik Tiongkok Ouw Peh Coa karya Ta Shen Sien. Kisah ini diadaptasi Nano Riantiarno menjadi Opera Ular Putih. Nano Riantiarno, lengkapnya Norbertus Riantiarno, adalah penulis naskah, sutradara, sekaligus pendiri Teater Koma. Naskah ini pertama kali dipentaskan Teater Koma, juga di Graha Bhakti Budaya, tahun 1994, pada 21 tahun yang lalu.

Apa yang membuat Opera Ular Putih relevan untuk dipentaskan kembali tahun ini? Ada banyak reason yang bisa dikemukakan. Salah satunya, karena maraknya era pencitraan, yang membuat orang makin piawai membungkus jati dirinya. Baik melalui media maupun lewat berbagai aktivitas sosial. Hingga, seringkali publik terkecoh memuja serta menyanjung orang lain, tanpa memahami sosok asli orang yang bersangkutan.

Dengan kata lain, akibat strategi pencitraan yang gencar dikembangkan belakangan ini, tak mudah membedakan mana manusia yang sesungguhnya dan mana yang siluman. Mana karakter asli, mana karakter kemasan. Mana kebenaran dan mana kepura-puraan. Bahkan, kepalsuan nampak sebagai kesejatian dan yang sejati justru terkesan sebagai kepalsuan. Mengacu kepada realitas kekinian tersebut, maka pentas Opera Ular Putih menjadi sesuatu yang sangat relevan saat ini.

Kesenian, salah satunya seni teater, memang mengemban tugas untuk menggugah kesadaran publik, agar senantiasa waras mengarungi kehidupan yang hingar-bingar ini. ”Masih sanggupkah kita membedakan, siapa manusia dan siapa siluman? Semoga penonton dapat mengambil makna yang kaya akan pesan moral tersirat yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini,” ujar Nano Riantiarno saat press conference di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Selasa (24/3/2015).

[caption id="attachment_357356" align="aligncenter" width="615" caption="Foto kiri: Ular Putih, Pehtinio, dan adiknya, Ular Hijau, Siocing. Foto kanan (ki-ka): Ratna Riantiarno, pemimpin produksi; Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara; Elly Luthan, penata gerak; Taufan S. Chandranegara, penata artistik dan cahaya. Mereka memberikan intro tentang persiapan serta latar belakang pementasan Opera Ular Putih ini dalam press conference di Galeri Indonesia Kaya. Foto: Image Dynamics PR "]

1427284176660575477

[/caption]

Gerakan Bersih Bumi

Lakon Opera Ular Putih ini berkisah tentang siluman Ular Putih yang ingin menjadi seorang manusia, dengan bertapa hingga 1.000 tahun. Para dewa kemudian mengabulkan keinginannya. Siluman Ular Putih pun menjelma menjadi seorang wanita cantik jelita bernama Pehtinio. Ia pun menjalani kehidupan sebagaimana halnya manusia. Suatu waktu, Pehtinio bertemu dengan Kohanbun, pemuda yang merupakan reinkarnasi dari orang yang pernah menolong Ular Putih ratusan tahun yang lalu.

Pehtinio bertekad menjadi istri Kohanbun. Namun, kedamaian mereka terusik ketika Kohanbun bertemu dengan seorang peramal, Gowi, yang memberitahukan bahwa Pehtinio sesungguhnya adalah seekor siluman ular jahat. Menurut Gowi, siluman ular itu tidak peduli dengan segala kebaikan yang pernah diberikan Kohanbun. Benarkah demikian? Apakah yang dikutuk sebagai kejahatan, benar-benar sebuah kejahatan?

Teater Koma dengan piawai mengolah pergolakan batin Pehtinio dan Kohanbun menjadi opera yang menghibur tapi penuh dengan pesan moral yang menggugah rasa. Sosok Pehtinio dan Kohanbun pada dasarnya merupakan simbol, sekaligus potret dari bingkai besar realitas gejolak sosial masyarakat yang sesak dengan intrik, friksi, serta pertikaian, sebagaimana yang terjadi di tengah masyarakat kita belakangan ini.

Kehidupan yang seharusnya damai agar masyarakat produktif, justru dirusak oleh ambisi sejumlah orang, yang kemudian bermuara pada intrik, friksi, serta pertikaian. Kerukunan masyarakat terguncang. Rasa persaudaraan yang kental, tercemar. Kawan berubah wujud menjadi lawan. Orang baik menjelma menjadi sosok yang jahat. Di sinilah seni dan budaya, khususnya seni teater, berperan menjernihkan kesadaran publik. Setidaknya, menggugah masyarakat agar tak terjebak dalam arus intrik, friksi, serta pertikaian yang merusak tatanan sosial.

Maka Opera Ular Putih ini, meski diciptakan ratusan tahun yang lalu, meski original-nya buah karya seniman Ta Shen Sien nun jauh di Tiongkok sana, meski sudah dipentaskan Teater Koma 21 tahun lalu, tetaplah menjadi cultural message yang sangat relevan dengan kondisi kekinian. Bumi yang kisruh dan gaduh. Langit yang muram dan kusam. Untuk itulah, Nano Riantiarno menetapkan tagline yang jitu bumi harus bersih, langit harus suci untuk pentasnya kali ini.

[caption id="attachment_357357" align="aligncenter" width="617" caption="Kiri, buku legenda Ular Putih dan kanan Djarum Apresiasi Budaya yang mendukung pentas Opera Ular Putih ini. Bakti Budaya Djarum Foundation, melalui program Djarum Apresiasi Budaya, sejak 1992 secara konsisten mengembangkan bentuk-bentuk kepedulian terhadap hasil budaya bangsa. Ini bentuk kontribusi Djarum Foundation dalam menjaga kelestarian dan kekayaan budaya, demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik serta bermartabat. Foto: 1.bp.blogspot.com dan Bakti Budaya Djarum Foundation"]

14272842151875938011

[/caption]

Proses Akulturasi yang Dinamis

Budaya Tiongkok, sesungguhnya bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat kita. Di Jawa khususnya, orang Tiongkok sudah datang jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Pada awalnya, kedatangan bangsa Belanda dan Tiongkok adalah untuk menjalankan aktivitas perdagangan. Melalui perniagaan itulah terjalin interaksi, kemudian mewujud menjadi proses akulturasi, antara bangsa Tiongkok dengan masyarakat Indonesia.

Jejak hadirnya bangsa Tiongkok, bisa ditemukan di hampir seluruh pelosok tanah air. Ada yang sudah runtuh, ada pula yang masih utuh terpelihara. Salah satunya adalah Kelenteng Boen Tek Bio di Tangerang, Banten, yang diperkirakan sudah ada sejak sekitar tahun 1750. Persis bersebelahan dengan kelenteng tersebut, sejak beberapa tahun yang lalu, didirikan Museum Benteng Heritage, yang juga merupakan bangunan peninggalan bangsa Tiongkok, footprint mereka. http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/05/07/museum-benteng-heritage-menyusuri-jejak-cina-benteng-dan-menjaga-spirit-leluhur-362808.html

Berbagai footprint tersebut menggambarkan, betapa proses akulturasi Tiongkok dan Indonesia telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu, dengan penuh dinamis. Hakekat dinamika budaya antar bangsa itulah yang terasa kental dalam Opera Ular Putih ini. Meski sarat dengan cultural message yang sangat relevan dengan kondisi kekinian, pentas opera ini tetaplah khas Teater Koma: dikemas dengan teknik modern dengan menghadirkan gelak tawa dan air mata.

Juga, romantika cinta dan rindu yang diiringi dengan lagu serta musik yang menyentuh, tentunya. Dua alat musik Tiongkok, guhzen dan ehru memainkan peranan penting dalam lakon ini. Demikian pula halnya dengan sejumlah aksesori yang dihadirkan para pemain dengan gemerlap ke atas panggung. Semua itu adalah bagian dari upaya menggugah kesadaran publik untuk merawat keberagaman serta mencintai nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Jakarta, 25-03-2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline