[caption id="attachment_346047" align="aligncenter" width="629" caption="Budi Gunawan dan Sutarman, ditampilkan dengan pendekatan yang berbeda di cover Majalah TEMPO. Pada cover Sutarman, siapa yang memilih dan siapa yang dipilih, jelas diungkapkan. Tapi, pada cover Budi Gunawan, visualisasinya samar-samar dan teks yang menyertainya penuh kesangsian. Foto: dokumentasi TEMPO."][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Presiden tidak wajib konsisten. Karena, Presiden itu politisi dan setiap politisi pada dasarnya pagi tempe, sore kedelai. Berubah semaunya, beralih sesukanya. Tapi, TEMPO adalah media dan tiap media wajib punya sikap serta wajib konsisten dalam bersikap.
Ketika Sutarman dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri), TEMPO edisi 21-27 Oktober 2013 dengan sikap tegas menampilkan cover Kapolri Selera Cikeas. Artinya, TEMPO dengan yakin mengungkapkan fakta bahwa Sutarman benar telah dipilih oleh Cikeas, yang merujuk pada kediaman Yudhoyono. Memilih Kapolri adalah memang otoritas Presiden yang sedang berkuasa.
Sebaliknya, untuk Budi Gunawan, TEMPO edisi 12-18 Januari 2015 menampilkan cover dengan kesangsian Mengapa Pilih Budi Gunawan. Sosok Budi Gunawan ditampilkan dalam format ilustrasi arsiran, tidak begitu jelas. Dua sosok lain, pria dan wanita, juga ditampilkan secara ilustratif serta siluet. Secara keseluruhan, cover ini menyiratkan sesuatu yang samar-samar, tak setegas seperti menampilkan Sutarman. Misteri apa di balik penunjukan Budi Gunawan?
Keraguan TEMPO, Kesangsian Publik
Pada cover Sutarman, jelas sekali: siapa yang memilih, siapa yang dipilih, dan untuk jabatan apa pemilihan tersebut. Sebaliknya, pada cover Budi Gunawan, siapa yang sesungguhnya memilih, tak jelas. Untuk jabatan apa Budi Gunawan dipilih, juga tak secara nyata ditampilkan. Bandingkan dengan cover Sutarman, yang menampilkan secara lengkap, termasuk tanda-tanda kepangkatan seorang Kapolri.
Adakah TEMPO sedang berada dalam keraguan? Atau, kesangsian? Artinya, majalah tersebut tak yakin, siapa sesungguhnya yang memilih Budi Gunawan. Padahal, sebagaimana galibnya, TEMPO tentu paham, siapa yang punya otoritas memilih seorang Kapolri. Kenapa tidak ditampilkan secara jelas? Bukankah jabatan seorang Kapolri adalah jabatan yang penuh dengan spirit ketegasan?
Sangat banyak pilihan kata untuk mencapai ketegasan tersebut. Misalnya, Kapolri Pilihan Istana atau Istana Memilih Budi Gunawan. Bila memang tegas bahwa keputusan memilih itu datang dari istana, tentu sosok perempuan dengan lengan bergelambir penuh lemak itu tak patut ada di bingkai cover. Karena, menurut berita sejumlah media, istana saat ini dipimpin oleh seorang pria, bukan wanita.
Demikian pula halnya jika TEMPO yakin bahwa yang memilih Budi Gunawan, bukan istana. Ketegasan tersebut bisa dicapai dengan teks cover Kapolri Selera Kebagusan atau untuk menghindari pengulangan cover ala Sutarman, bisa dinyatakan Jabatan untuk Mantan Ajudan. Dengan demikian, publik paham, ada power dari luar istana yang telah mematahkan otoritas istana dalam memilih Kapolri.
Kehadiran cover TEMPO edisi 12-18 Januari 2015 ini, dengan berbagai simbol yang samar-samar, seakan membenarkan sejumlah dugaan yang selama ini beredar bahwa yang menjadi penentu Kapolri, bukanlah istana. Ada power lain di luar istana yang memainkan peranan. Maka, tentu bukan pada tempatnya masyarakat mengharapkan independensi serta konsistensi dari penguasa yang saat ini berkuasa.
Kapolri Bursa Panas
[caption id="attachment_346048" align="aligncenter" width="629" caption="Panas-Dingin Kepala Polri edisi 23-29 Agustus 2010 dan Bursa Panas Calon Kapolri edisi 19-25 Juli 2010, menunjukkan betapa sengitnya perebutan jabatan yang prestisius tersebut. Dan, partai politik punya kepentingan untuk menyorongkan sosok yang seiya-sekata, untuk mendudukinya. Foto: koleksi pribadi"]
[/caption]
Pergantian Kapolri agaknya mendapat perhatian khusus dari TEMPO. Dua cover dari dua edisi di atas menunjukkan bahwa sosok orang nomor satu di jajaran kepolisian, menjadi topik yang layak dijadikan cover story. Ada kompetisi yang cukup sengit rupanya untuk meraih jabatan tersebut. Itu menjadi pertanda bahwa posisi Kapolri adalah posisi yang prestisius untuk diperebutkan.
Dan, partai politik punya kepentingan untuk menyorongkan sosok yang seiya-sekata, untuk menduduki jabatan tersebut. Maka, sangat bisa dipahami ketika TEMPO menetapkan full warna merah sebagai warna dasar halaman cover Budi Gunawan di atas. Ia menjadi calon tunggal Kapolri. Warna merah dan calon tunggal, ibarat kata, sudah jadi penanda sebuah keputusan.
TEMPO edisi 21-27 Oktober 2013, halaman 29, menulis, ”Kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyodorkan calon tunggal, seperti dalam pemilihan Panglima Tentara Nasional Indonesia, merupakan ’tradisi’ yang tak patut diwariskan.” Semangat revolusi penguasa yang kini berkuasa, nampaknya hendak mempertahankan serta melanjutkan tradisi calon tunggal tersebut. Ini memang salah satu cara untuk mengamankan sosok yang seiya-sekata, yang disorongkan.
Bagaimana dengan semangat revolusi yang digembar-gemborkan? Ah, itu kan jargon politik untuk mendulang suara. Sekali lagi, Presiden itu kan politisi dan setiap politisi pada dasarnya pagi tempe, sore kedelai. Berubah semaunya, beralih sesukanya. Tapi, adakah kekuatan yang akan menolak sang calon tunggal? Atau, adakah power yang berani menolak? Adakah yang akan me-revolusi tradisi calon tunggal?
Di Senayan, di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), sang calon tunggal Kapolri akan berhadapan dengan Komisi III DPR RI. Sebagaimana diketahui, komisi ini merupakan pasangan kerja institusi penegak hukum, di antaranya, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hukum Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kini, yang duduk sebagai Ketua Komisi III DPR RI adalah Aziz Syamsudin, politisi dari Partai Golkar.
Rekening Gendut Polisi
[caption id="attachment_346050" align="aligncenter" width="618" caption="Rekening Gendut Perwira Polisi, edisi 28 Juni-04 Juli 2010, laris diborong orang hanya beberapa saat setelah keluar dari percetakan. Aksi borong ini membuat sejumlah pembaca tak kebagian edisi Rekening Gendut tersebut. Berbagai dugaan dan spekulasi bermunculan terkait aksi borong itu. Foto: koleksi pribadi "]
[/caption]