Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Berlinale Film Festival Sebagai Soft Power Diplomacy

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1423655852651867025

[caption id="attachment_350630" align="aligncenter" width="609" caption="Lembusura, penjaga Gunung Kelud, dalam adegan film Lembusura karya Wregas Bhanuteja (tengah). Paling kanan adalah Loeloe Hendra, pencipta film Onomastika. Kedua film tersebut, Lembusura dan Onomastika, lolos seleksi dan akan ambil bagian di Berlin International Film Festival (Berlinale Film Festival) 2015, 5-15 Februari 2015. Paling kiri adalah Yosep Anggi Noen, peserta Berlinale Talent Campus 2014. Foto: Dok. Studio Batu dan Pramesthi Ratnaningtyas"][/caption]

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Untuk sampai ke Bandara Tegel di Berlin, Jerman, dibutuhkan penerbangan yang panjang, sekitar 20 jam dari Jakarta. Tapi, kisruh di Kementerian Pariwisata yang dipimpin Arief Yahya, yang sebelumnya sebagai CEO PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., menjadikan Jakarta-Berlin terasa demikian dekat. Sepenting apakah Berlinale Film Festival bagi Indonesia?

Ketika Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sama sekali tidak men-support keberangkatan kedua film tersebut ke Berlinale, kita bisa menyimpulkan bahwa Kemenpar tidak paham pentingnya industri kreatif, khususnya di bidang film. Ketika delegasi Kemenpar ke Berlinale tidak memasukkan Wregas Bhanuteja dan Loeloe Hendra dalam tim, kita tahu ada skandal di Kemenpar.

Pintu Korupsi di Kemenpar

Ketika Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kemenpar, Armein Firmansyah, yang menjadi Ketua Delegasi untuk menghadiri Berlinale 2015, tidak melakukan tender terkait program tersebut, kita mengerti ada upaya patgulipat di Kemenpar. Ketika ada pengajuan dana dari Armein Firmansyah sebesar Rp 1,5 miliar untuk kebutuhan delegasi, tanpa didukung dokumen tender, ini pertanda tindak korupsi.

Karena dana tersebut belum cair, Armein Firmansyah berani menggunakan dana pihak ketiga sebagai dana talangan, yang kemudian akan dilunasi setelah dana dari Kemenpar cair. Keberanian Armein Firmansyah tersebut merupakan indikasi bahwa Skandal Berlinale danpatgulipat anggaran di Kemenpar, bukanlah sesuatu yang baru dan bukan pula baru kali ini terjadi.

Jika sutradara Joko Anwar tidak berkicau di akun Twitternya, dengan melampirkan salinan dokumen dari Kemenpar berisi nama-nama delegasi yang diberangkatkan, yang dinilainya tidak kompeten, mungkin patgulipat anggaran di Kemenpar tak kan terkuak ke publik. Artinya, tindak korupsi di Kemenpar akan berjalan mulus di balik layar.

Dengan dan atas nama Berlinale 2015, para pejabat Kemenpar beserta kolega akan leluasa pelesiran di Jerman, menghambur-hamburkan uang rakyat. Menyikapi situasi tersebut, Menpar Arief Yahya bertindak cepat dan tegas: Armein Firmansyah dicopot dari jabatannya dan keberangkatan delegasi ke Festival Film Berlin 2015 dibatalkan.

Bagi Nia Dinata dan Joko Anwar, juga bagi para sineas lainnya, pencopotan itu bukan hasil akhir, tapi justru sebuah permulaan untuk mengevaluasi serta merancang mekanisme yang transparan terkait kehadiran para pekerja kreatif, khususnya para sineas, ke berbagai ajang festival film internasional.

“Transparansi itu diperlukan, agar delegasi yang diberangkatkan adalah orang-orang yang kompeten. Jumlah orang dan anggaran yang dikeluarkan, juga harus efektif. Kemenpar kan menggunakan uang negara, hasilnya juga harus terukur, agar memberi kontribusi positif pada pariwisata Indonesia dan perfilman nasional,” papar Nia Dinata dalam diskusi dengan kompasianer melalui KompasianaTV, Senin, 9 Februari 2015.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline