Ini sudah di penghujung Ramadan. Di saat banyak orang I'tikaf di masjid eh beberapa anak belasan tahun malah minum-minuman keras di pinggiran jalan. Beberapa orang diciduk polisi. Yang tersisa, yang tidak ikut diciduk, masih bergerombol di sekitar lokasi. Saya dengar mereka saling menyalahkan. Ada juga yang ketakutan, karena ia tadi yang ngajak yang diciduk itu ke luar rumah. "Gua cuma ngajak main, gak ngajak ia minum," sergahnya, karena telunjuk banyak yang menuding ke arahnya.
"Lu harus tanggung jawab. Kalau gak lu ajak, pasti ia gak bakal minum, dan pasti ia gak bakal diciduk polisi," ujar salah seorang menegaskan posisinya.
"Ia kan tadi disuruh Bapaknya jaga rumah, karena Bapaknya mau ke masjid. Eh, salah lu ngajak dia. Gua gak tau deh, gimana cara ngomongnya sama tuh Bapak. Bapaknya kan temenan sama Bapak gua," kata yang lain sembari petantang-petenteng.
Suasana pun gaduh. Entah siapa yang mulai, yang dipersalahkan itu, dipukulin rame-rame. Ujung-ujungnya, berantem massal. Sudah tak jelas lagi, siapa memukul siapa. Tiba-tiba ada yang berteriak supaya berhenti. Rupanya, masih ada petugas yang tidak berseragam di sana. Dengan cekatan, petugas itu mencokok beberapa orang. Tak lama kemudian, mobil patroli datang, beberapa orang itu diangkut.
Yang tadi dipersalahkan, tidak ikut diangkut. Ia melongo melihat teman-temannya dibawa polisi. Dengan penuh rasa takut, ia diam-diam meninggalkan kerumunan itu. Langkahnya bergegas menuju masjid, untuk memastikan, apakah Bapak dari anak yang ia ajak main tadi masih ada di masjid. Ternyata tidak ada. Dari bisik-bisik, ia tahu tuh Bapak baru saja meninggalkan masjid karena dijemput polisi. Oalaaaaahhh, ia mumet.
Ia tidak berani pulang ke rumah. Terus ke mana? Akhirnya ia putuskan bertahan di masjid. Ia duduk bersama jamaah yang sedang I'tikaf. Segala macam doa yang ia hapal, ia baca. Ia tidak konsen. Pikirannya ke mana-mana. Cemas, takut, cemas, takut, terasa silih berganti. Tak beraturan. Sesekali ia melirik ke sekeliling, kalau-kalau ada Bapaknya di situ. Ternyata, tak ada.
Saat makan sahur, ia ikut makan. Panitia I'tikaf memang menyediakan makan sahur untuk jamaah. Jantungnya masih gedebak-gedebuk tak beraturan. Ia tak tahu, apa yang mesti diperbuat. Ia merasa salah, salah banget. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Teman yang ia ajak sudah diciduk polisi. Bapak temannya pun sudah dijemput polisi.
Setelah imsak, menjelang shalat subuh, ia kebelet ke belakang. Buru-buru ia lari ke toilet masjid. Ia merasa tenang di sana, dalam kungkungan toilet. Cukup lama ia mendekam di situ, sekalian menenangkan pikiran. Ketika azan subuh berkumandang, ia masih ngadem di situ. Ketika imam sudah membaca takbir, ia pun belum berpikir untuk keluar dari toilet.
Habis rakaat pertama, baru ia buru-buru berwudhu dan nyusul shalat. Astaga, selesai shalat, ia lihat Bapaknya duduk dua saf di depannya. Habis deh gua, pikirnya. Sambil berjalan pulang dari masjid, Bapaknya menepuk-nepuk pundaknya. "Untung kamu tidak ikut minum-minum tadi. Kalau ikut, pasti kamu diciduk polisi. Untung polisinya juga ngertiin mau Lebaran, semua dilepas pulang setelah tanda tangan perjanjian tak akan mengulangi," ujar sang Bapak dengan senyum mengembang karena bangga dengan anaknya.
Sang anak? Ia meloncat-loncat kegirangan. Berteriak-teriak kesenangan. Merasa bebas dari rasa bersalah. Bapaknya heran, kenapa anaknya segitu riangnya.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com