Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Cerpen | Bemo Tua

Diperbarui: 17 Juni 2017   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: isson khairul

Menjadi tua dan tersia-sia. Aku merasa nasibku seperti bemo di Jakarta. Kusaksikan sendiri siang tadi, tak jauh dari stasiun kereta Manggarai. Para petugas mencegat, kemudian menahan bemo-bemo itu. Secara formal, penguasa Jakarta memang sudah melarang bemo beroperasi di ibu kota ini, sejak beberapa hari lalu. Namun, karena alasan kebutuhan hidup, sejumlah supir bemo masih mengoperasikan kendaraan roda tiga itu. Dan, masih ada penumpang yang membutuhkan keberadaannya.

Logikanya, ada kendaraan dan ada penumpang. Ada supplay, ada demand. Ada penyedia jasa, ada pengguna jasa. Tapi, kenapa si roda tiga itu diberangus? Tidak layak sebagai angkutan umum, itu alasan penguasa Jakarta. Setahuku, bemo tidak pernah terbakar, seperti halnya Transjakarta yang sering terbakar. Setahuku, Transjakarta lebih sering mogok daripada bemo. Setahuku, supir Transjakarta juga lebih sering mogok, dan supir bemo kayaknya tidak pernah mogok. Tidak pernah merugikan penumpang.

Terus, apanya yang tidak layak? Dari Manggarai, hanya bemo satu-satunya kendaraan umum regular yang bisa aku gunakan untuk berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jalan Diponegoro. Hanya dengan membayar Rp 4.000,- Dan, dari rumahku di kawasan Pejompongan, hanya bemo juga satu-satunya kendaraan regular untuk belanja ke Pasar Bendungan Hilir. Juga, hanya dengan ongkos yang sama.

Bemo dilarang tapi tidak ada kendaraan regular penggantinya. Inikah yang disebut penguasa Jakarta yang sangat mengerti kebutuhan warga Jakarta? "Sudahlah, Pak. Jangan menyalahkan penguasa terus. Mereka sudah membangun rute Transjakarta untuk transportasi kota, untuk menyamankan warga Jakarta. Mereka juga sedang membangun MRT untuk kemudahan bertransportasi di Jakarta," ujar istriku menenangkan.

Aku tak langsung membalas, karena aku tak ingin menyakiti perasaannya. Tapi, karena tak tahan, akhirnya aku bersuara juga. "Transjakarta itu bukan untukku, bukan untuk orang tua seperti aku. Jangankan untuk sampai ke bus itu, naik tangga sepuluh undakan saja, jantungku sudah mau copot," kuusahakan meredam emosi agar tidak terkesan sedang perang kata-kata. MRT? "Itu juga bukan untukku, bukan untuk orang tua seperti aku. Aku sudah disiksa oleh kemacetan akibat pembangunan MRT, tapi barangkali aku sudah tidak ada ketika MRT itu beroperasi," sungutku panjang-lebar.

Kadang aku berpikir, apa ya yang ada di otak penguasa Jakarta ini? Beberapa waktu lalu, ia mengajak warga memburu tikus. Kemudian, memberikan uang negara kepada warga sebagai hadiah. Apakah tikus tidak layak hidup di Jakarta? Kalau tidak layak ya beranguslah tikus. Turunkan Pasukan Tikus untuk membasmi tikus. Bentuklah Komando Anti Tikus di seluruh wilayah Jakarta. Kapan perlu sampai dapat piagam dari PBB sebagai Kota Terbaik Pembasmi Tikus. Jangan cuma anget-anget tai ayam kayak gitu. Kan jadi ketahuan, tikus hanya jadi korban program pencitraan.

Tapi, benarkah tikus jadi masalah utama warga Jakarta? Penting banget kah urusan tikus, sampai uang negara diberikan untuk menghadiahi warga? Yang aku tahu, urusan transportasi lebih sering diseminarkan daripada tikus. Tapi, supir bemo yang bergerak di bidang transportasi, yang sudah puluhan tahun melayani warga Jakarta, seingatku tidak pernah diberi hadiah. Disubsidi juga tidak pernah. Diundang upacara ke Balai Kota juga tidak pernah.

Eh, kini dilarang. Dimatikan. Akan makan apa keluarga mereka? Inikah yang disebut penguasa Jakarta yang sangat mengerti kebutuhan warga Jakarta? Kusaksikan sendiri siang tadi, tak jauh dari stasiun kereta Manggarai, para supir bemo itu melepas pintu bemo, mencopot kap mesin, untuk dijual sebagai barang rongsokan. Mereka lakukan itu daripada bemo disita oleh petugas. Mereka tersia-sia, setelah puluhan tahun mengabdi untuk transportasi Jakarta. Dan, aku merasa nasibku seperti mereka, seperti bemo di Jakarta.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 17 Juni 2017

Tulisan saya yang lain tentang bemo

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline