Jalan itu lurus. Berangkal batu, pecahan batu, kristal semen, melapisi permukaannya. Bias cahaya meriah dari papan reklame dan logo pertokoan memberinya siluet.
Minggu, 20 Mei 2001, pukul 21.00, sebuah taksi biru merayap di sana. Jarum speedometer-nya menunjuk angka 15 kilometer per jam. Setelah melampaui satu tikungan dan disambut sorot neon 40 watt, kendaraan tersebut berhenti. Tepat di muka permukiman para pemulung.
Enam pria melompat dari dalam taksi, kemudian sibuk menarik tubuh seorang dari jok belakang. Kedua tangan dan kaki orang terikat kawat. Rintihan parau terdengar lemah dari tenggorokannya.
Dia sekarat.
Deret kalimat diatas apakah termasuk cerita atau berita? Pada awalnya penulis mengira tulisan tersebut adalah cerita, akan tetapi ternyata sebuah berita. Kok bisa? Tulisan dengan judul Hikayat Kebo hasil reportase dari Linda Christanty ini merupakan bentuk jurnalisme sastrawi. Awam dengan istilah tersebut? Mari kita berkenalan dengan genre jurnalisme sastrawi ini.
Pada akhir bulan Februari yang lalu, penulis mendapat kesempatan untuk berkenalan dan mempelajari tentang jurnalisme sastrawi yang diselenggarakan oleh salah satu media massa di Jawa Tengah.
Jurnalisme sastrawi merupakan genre jurnalisme yang ada selain jurnalisme klasik yang kita kenal. Jenis jurnalisme ini sebenarnya sudah muncul di Amerika pada tahun 1960, sedangkan di Indonesia sendiri penulisan dengan gaya jurnalisme sastrawi masih sedikit, baru dikenal di tahun 2000-an dan hingga sekarang yang menerapkannya masih 10%, tidak banyak media yang masih konsisten dalam penulisan jurnalisme sastrawi.
Jurnalisme sastrawi sendiri jurnalisme dengan gaya penulisan sastrawi. Meskipun gaya penulisannya bak novel namun bukanlah fiksi. Isi tulisannya tetap disajikan berbasis data dan fakta. Jika kita mengenal teknik penulisan jurnalisme klasik 5W+1H (what, who, where, when, why + how), jurnalisme sastrawi mengubah who menjadi karakter, what menjadi plot/alur, when menjadi kronologi, where menjadi setting, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.
Seiring berjalannya waktu, konsep tersebut berkembang lebih lengkap dalam penulisan jurnalisme sastrawi melalui 7 (tujuh) elemen menurut Robert Vare, yakni (1) fakta -- berdasarkan data yang akurat; (2) konflik -- yang memikat pembaca; (3) karakter -- konsep who yang telah dikembangkan; (4) akes -- memiliki akses luas untuk menarasikannya melalui berbagai sudut pandang; (5) emosi -- membangkitkan human interest; (6) perjalanan waktu -- ada kisahnya, ada adegan demi adegan; dan (7) kebaruan -- melahirkan sesuatu yang kekinian.
Genre jurnalisme ini merupakan pengembangan dari feature. Berita yang disajikan lebih mendalam dengan penyajian gabungan deskriptif dan naratif. Deskripsi tidak perlu mendayu-dayu, sebab jurnalisme sastra bukan sastra puitis. Di sisi lain, dalam narasi dituntut untuk dapat memikat pembaca melalui emosinya, sehingga mampu menghadirkan teks yang manusiawi.
Lantas apa kelebihan menggunakan jurnalisme sastrawi dibanding dengan jurnalisme pada umumnya yang cenderung singkat, padat, jelas dan langsung pada poin yang ingin dituju? Genre ini lebih memberikan kesan mendalam karena penulisannya seperti bercerita sehingga pembaca dapat merasakan maupun membayangkan kejadiannya, serta penyampaian pesannya cenderung lebih cair. Kekuatan dari jurnalisme sastrawi ini terletak pada penyajian berita sekaligus bersastra, keakuratan data dan fakta, kemampuan merekonstruksi kembali kejadian dalam perspektif netral.