Lihat ke Halaman Asli

 Jangan Jadi Seperti "Gelas"

Diperbarui: 18 Februari 2016   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini sebenarnya sudah ada beberapa tahun silam, namun saya rasa ketika itu belum saatnya untuk dibagikan. Kebetulan dua hari ini saya sedang tidak enak badan dan beristirahat di rumah jadinya saya memiliki waktu yang banyak untuk melihat kembali apa yang menjadi renungan saya selama ini.

Kadang kita begitu cepat waktu berjalan. Peristiwa 5 tahun lalu, seakan baru berlangsung 4 minggu sebelumnya. Menjadi anak SMA itu baru aja terjadi 2 minggu sebelumnya, padahal itu 5 tahun yang lalu. Entah waktu yang berjalan cepat, kita yang masih terjebak di kenangan itu, bisa jadi keduanya.

Saya berasal di sebuah kota bernama Bireuen (Well, sebenarnya saya tinggal di Kecamatan, jaraknya 5 KM + 100 M dari kota), sekitar 218 KM arah timur kota Banda Aceh atau 408 KM arah barat kota Medan. Nama kecamatan saya Juli (Sebelum kalian tanya, enggak ada kecamatan lain yang namanya Juni, Agustus, atau Januari di Bireuen). Sebagai anak kampung tentu saja saya punya mimpi yang cukup sederhana ketika itu. Saya ingin sekolah di Pulau Jawa. Entahlah, sejak kapan muncul keinginan itu tapi kalau tidak salah ketika kelas 2 SMA. Kuliah di Jawa bagi anak SMA di Jawa itu biasa aja, it something that they take it for granted. Tapi bagi sebagian anak-anak di Daerah khususnya di Aceh, itu complicated banget dan penuh drama. Kalau di bedah banyak behind the scene yang berdarah-darah. Ada yang yang terlalu indah buat dikenang, tapi enggak mau untuk diulangi. Ada juga sih yang santai-santai aja, eh tiba-tiba udah kuliah aja di kampus kece di Jawa. Sayangnya saya buka tipe yang terakhir ini. 

Tahun 2011 menjadi tahun yang penting bagi anak-anak angkatan 2011 ( ya iya lah). Rata-rata pada panik menjelang UN dan penentuan kampus masa depan. Pembahasan anak-anak cuma berkisar seputar kenangan masa lalu dan rencana masa depan. Yang dulu keliatan nyantai-nyantai jadi semakin rajin, yang dulu keliatan rajin jadi nyantai (Enggaklah). Rata-rata sudah memiliki Kampus Idaman masing-masing. Yang paling aman adalah perempuan yang sudah siap di lamar, ga usah ribet mikirin UN dan SNMPTN ( Kayaknya anak Sukma lakunya secepat ini)

Ketika itu muncul beberapa kriteria jurusan dan kampus dalam benak saya. Awalnya saya ingin kuliah di Kedokteran, tapi karena jurusan SMA saya IPS pilihannya langsung di coret (yang ini becanda) Di ujung-ujung sebelum pendaftaran kampus akhirnya saya mulai realistis dan siap untuk kuliah di jurusan apa saja (yang penting jangan rumpun Ilmu Hayati)* Tapi harus di Jawa. Ketika itu usaha semakin di perkencang dan doa semakin di perkuat. Semoga mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya (Ya enggaklah, di kampus yang bagus)

Bagi saya masa-masa itu tidak mudah. Ayah saya baru saja meninggal akhir tahun 2010 (Mohon doa agar di Lapangkan Kuburnya, Amin YRA). Kondisi keluarga secara psikologis dan financial sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Namun, bagaimanapun saya tidak boleh mundur. Di satu sisi, saya tidak ingin membebankan keluarga dengan cita-cita untuk kuliah di Jawa, tapi disisi lain (masih terlalu banyak variabel yang belum kejawab waktu itu).

Tendangan Pertama

Target utama saya adalah bisa tembus di salah satu kampus Negeri di Pulau Jawa, lalu mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Aceh dan saya kuliah tanpa membebankan keluarga. Namun, harapan itu hancur bahkan sebelum genderang perang di bunyikan. Entahlah apa penyebabnya, beasiswa yang biasanya ada setiap tahunnya itu di Stop untuk anggaran tahun 2011. Tentu saja hal ini tidak membuat saya surut, sedikitpun. Saya selalu percaya bahwa Dialah Maha yang mengatur dan memiliki rencana.

Hal itu justru membuat saya belajar semakin keras. Di tambah sekitar bulan Maret saya mengikuti salah satu kompetesi Ekonomi sebagai penutup ke-isengan saya selama SMA. Saya masih ingat bagaimana saya belum berhenti belajar sebelum jam 2 malam, dan kaki saya celupkan kepada air agar tidak mengantuk (Patut di coba). Prinsip saya ketika itu “ Going Extramile dan pushing beyond my limit”. Karena pada dasarnya saya bukan orang yang pintar dan bisa menangkap pelajaran dengan mudah, jadinya saya harus berusaha lebih dari orang lain. Terserah hasilnya akan seperti apa yang penting saya sudah berusaha (#bijak).

Terkadang, terlalu percaya diri dengan rencana yang kita buat justru membuat kita menjadi sombong. Percayalah, keputusan terbesar itu ada di tangan-Nya.

Pintu terbuka namun tidak dapat di masuki

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline