Bagi kami, tak ada satupun bangunan yang dapat dikatakan rumah. Tak ada yang namanya rumah, itu semua omong kosong. Bagi kami, hidup hanya untuk menghasilkan uang. Tak ada waktu untuk bermain seperti anak-anak seusia kami. Bagi kami, keluarga itu adalah kami. Tak ada lagi yang dapat dikatakan keluarga selain kami. Bagi kami, di bawah jembatan ini adalah bentuk hidup kami.
Namaku Rania, aku hidup dengan Gani, Gilang, Kiki, dan Aisya. Kami berlima adalah keluarga yang aku ceritakan tadi. Kami semua berbeda, beda Ibu dan juga beda Ayah. Walau begitu berbeda, tanpa mereka aku bukanlah apa-apa. Di bawah jembatan ini adalah saksi kehidupan aku dan mereka.
"Kapan badai itu akan datang?"
Aku menghela napas, "kenapa kamu sepertinya tampak sangat menunggu badai untuk datang?"
"Jembatan ini akan kembali banjir, Nia. Syukur-syukur jika banjir, kalau roboh bagaimana?" itu adalah suara Gani dengan segala pemikiran buruknya.
Aku melihat sekeliling, ada Gilang dan kiki yang sibuk bercerita lalu pandanganku kini tertuju ke pangkuanku dimana ada Aisya yang tertidur lelap. Apa yang akan aku lakukan pada anak-anak ini jika badai itu sungguh datang?
"Sudahlah, nanti kita pikirkan." ucap Gani lalu berlalu dari hadapanku.
Jembatan ini tidak seburuk itu, kami menghiasnya dengan cantik. Banyak boneka Aisya yang kami pajang, walau bonekanya sudah usang dan robek namun tetap saja mengurangi kehampaan jembatan ini. Ada buku-buku Gani yang disusunnya, walau hanya bekas dari tempat sampah tetap saja bau buku itu tidak pernah menyatu dengan sampah. Lalu ada bando-bando Kiki yang begitu cantik penuh warna, walau warnanya sudah sedikit memudar tapi tetap saja memberi cahaya pada jembatan ini. Ada pula uang mainan Gilang yang dipajangnya disetiap dinding jembatan, katanya uang itu adalah bentuk harapannya. Lalu ada topeng badut milikku yang kini sudah menjadi milik kami semua.
"Nia, ayo!" ucap Gilang yang sudah siap dengan kostum badutnya.
Aku mengangguk. "Ki, susu Aisya jangan lupa dikasih nanti saat dia bangun."
Kiki mengangguk paham. Aku dan Kiki bertugas mengasuh Aisya, diantara kami berlima Aisya yang paling kecil jadi kami mengasuhnya selayaknya seorang Ibu.