dibuat oleh Isra Diana, Rima Firdayani, Semeru, dan Suwitno
Pada masa kerajaan, penguasa atau pejabat kerajaan disebut dengan pangreh praja. Dalam konteks masyarakat Indonesia atau lokal, para pejabat berarti pangreh praja, tetapi jika menurut Belanda mereka adalah pemerintahan pribumi atau dalam artian inlandsch bestuur yaitu suatu tingkat yang lebih rendah dari pemerintah setempat.
Peran mereka adalah melenyapkan perbedaan antara kasta Eropa dan politiknya yang sesuai arah perkembangan, serta masyarakat petani di pedesaan. Jadi memang pada masa Belanda sudah ada Pangreh praja, akan tetapi pejabat ini dibentuk oleh Belanda untuk melaksanakan kepentingan pemerintah kolonial.
Pemerintah Belanda awalnya hanya membentuk pemerintah lokal yang mengurusi bagian administratif, dengan bentuk pemerintahan sentralistik atau terpusat. Akhir abad ke 19 dimana kegiatan ekonomi menjadi semakin sungguh-sungguh dan hubungan dengan Eropa semakin rapat, dan kebaratan atau sikap condong ke Barat, muncul di kota-kota yang tumbuh dan berkembang dengan pesat. Maka segalanya mulai berubah, baik dari segi gaya hidup pejabat maupun sikap-sikap profesionalnya. Jadi intinya pada masa Belanda banyak pejabat pangreh praja lokal yang memiliki gaya hidup bermewah-mewahan, layaknya orang-orang Belanda.
Peraturan-peraturan yang lebih penting, yang dikeluarkan antara tahun 1910-1915, kejadian ini bertepatan dengan munculnya, kelompok-kelompok baru kepemimpinan pribumi atau masyarakat lokal, yang menentang kekuasaan sosial politik kelas bangsawan Jawa yang sedang memerintah, yakni kaum priyayi. Artinya bahwa sudah sejak zaman Belanda, sudah ada aksi unjuk rasa untuk menentang kekuasaan bangsawan, bahkan jika diteliti lebih lanjut kelompok yang kontra bangsawan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu Buddha.
Sadar akan inginnya sebuah perubahan dalam hal sosial dan politik, telah mendorong keberanian orang-orang Belanda dan kaum elit Jawa yang berpendidikan (yang jumlahnya semakin banyak), untuk menuntut tanggung jawab yang semakin besar bagi pangreh praja. Rezim kolonial di abad 20 menjadi berubah sikapnya setelah politik etis, pribumi diharapkan dapat berkembang menjadi sebuah kelompok inti para pemimpin yang berorientasi pada Belanda. Rezim abad 20 itu berubah sikap menjadi memusuhi para pejabat yang berpandangan maju dan gerakan nasional pun marak muncul, meskipun awalnya rezim kolonial bersikap dingin atau tidak peduli.
Orang-orang Belanda terpaksa menggunakan pejabat pangreh praja sebagai tiang penyangga sekaligus senjata terhadap kelompok-kelompok baru, karena kesepakatan antara orang-orang Belanda dan pribumi tidaklah cukup. Artinya bahwa memang pejabat Belanda memanfaatkan pejabat-pejabat lokal untuk mengendalikan orang-orang pribumi. Pejabat-pejabat pribumi yang berpandangan maju, sebenarnya ingin memberontak terhadap kondisi yang tak terkendali, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa lantaran segala macam kesempatan telah tertutup.
Di lain sisi di daerah kerajaan. Pemberontakan secara terus-menerus mengancam terpecahnya kerajaan, ditambah lagi adanya dukungan perasaan kedaerahan yang kuat dan menemukan fokus politik ini biasa terjadi di kalangan pemimpin keagamaan yang sempit pandangannya atau bahkan penguasa setempat yang haus kekuasaan. Jadi, salah satu asal-usul pangreh praja berasal dari kalangan pemimpin pemberontakan maupun dari lawan-lawannya, yaitu para pejabat ibu kota kerajaan sendiri. Pangreh praja misalnya, sering kali bertugas untuk mengeksploitasi kekayaan alam Nusantara dan sering menindas rakyat. Besar kemungkinan bagi sebagian besar orang beranggapan bahwa seseorang pejabat yang baik berada dalam kesesuaian dengan lingkungan-lingkungan keagamaan, fisik, dan sosial.
Administrasi negara pada dasarnya masih primitif atau tradisional (belum begitu mengenal teknologi modern). Pentingnya kekuatan fisik nampak di dalam pemujaan terhadap ke kesatriaan (kesatria atau kaum bangsawan sangat dihormati). Kesederhanaan administrasi yang diulang-ulang secara identik, mulai dari struktur dan tidak adanya perbedaan fungsi di dalam kedudukan para pemimpin. Pada masa kerajaan Mataram terdapat permasalahan dalam pemerintahan yaitu dalam menyatukan negara, memanfaatkan pernikahan antar daerah atau suku, hubungan yang bersifat pribadi. Hal ini pun masih berlanjut hingga masa sekarang, yang masih ada beberapa orang yang memanfaatkan pernikahan untuk keuntungan pribadi, khususnya untuk politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H