Lihat ke Halaman Asli

Pola-pola Politik dan Pemerintahan: Pangreh Praja Masa Belanda

Diperbarui: 13 September 2024   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

dibuat oleh Isra diana, Rimah Firdayani, Semeru, dan Suwitno

Pada masa kerajaan, penguasa atau pejabat kerajaan disebut dengan pangreh praja. Dalam konteks masyarakat Indonesia atau lokal, para pejabat berarti pangreh praja, tetapi jika menurut Belanda mereka adalah pemerintahan pribumi atau dalam artian inlandsch bestuur yaitu suatu tingkat yang lebih rendah dari pemerintah setempat. 

Peran mereka adalah melenyapkan perbedaan antara kasta Eropa dan politiknya yang sesuai arah perkembangan, serta masyarakat petani di pedesaan. Jadi memang pada masa Belanda sudah ada Pangreh praja, akan tetapi pejabat ini dibentuk oleh Belanda untuk melaksanakan kepentingan pemerintah kolonial.

Pemerintah Belanda awalnya hanya membentuk pemerintah lokal yang mengurusi bagian administratif, dengan bentuk pemerintahan sentralistik atau terpusat. Akhir abad ke 19 dimana kegiatan ekonomi menjadi semakin sungguh-sungguh dan hubungan eropa semakin rapat, dan kebaratan atau sikap muncul di kota-kota yang tumbuh dan berkembang. Maka segalanya mulai berubah, baik dari segi gaya hidup pejabat mapun sikap-sikap profesionalnya. Jadi intinya pada masa Belanda banyak pejabat pangreh praja lokal yang memiliki gaya hidup bermawah-mewahan, layaknya orang-orang Belanda.  

Peraturan-peraturan yang lebih penting, yang dikeluarkan antara tahun 1910-1915, kejadian ini betepatan dengan munculnya, kelompok-kelompok baru kepemimpinan pribumi atau masyarakat lokal, yang menentang kekuasaan sosial politik kelas bangsawan Jawa yang sedang memerintah, yakni kaum priyayi.

 Sadar akan inginnya sebuah perubahan dalam hal sosial dan politik, telah mendorong, keberanian orang-orang Belanda dan kaum elit Jawa yang berpendidikan baik dan jumlahnya pun semakin banyak, untuk menuntut tanggung jawab yang semakin besar bagi pangreh praja. Rezim kolonial di abad 20 yaitu menjadi berubah sikap, setelah politik etis pribumi diharapkan dapat berkembang menjadi sebuah kelompok inti para pemimpin yang berorientasi belanda. Rezim abad 20 itu berubah sikap menjadi memusuhi para pejabat yang berpandangan maju dan gerakan nasional pun marak muncul, awalnya rezim kolonial bersikap dingin atau tidak peduli.

Orang-orang Belanda terpaksa menggunakan pejabat pangreh praja sebagai tiang penyangga sekaligus senjata terhadap kelompok-kelompok baru, karena kesepakatan antara orang-orang Belanda dan pribumi tidaklah cukup. Jadi memang pejabat Belanda memanfaatkan pejabat-pejabat lokal untuk mengendalikan orang-orang pribumi. Pejabat-pejabat pribumi yang berpandangan maju, sebenarnya ingin memberontak terhadap kondisi yang tak terkendali, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa lantaran segala macam kesempatan telah tertutup.

Pemberontakan secara terus-menerus, mengancam terpecahnya kerajaan ditambah lagi adanya dukungan perasaan kedaerahan yang kuat dan menemukan fokus politik yang biasa dikalangan pemimpin keagaaman yang sempit pandangannya atau bahkan penguasa setempat yang haus kekuasaan. 

Jadi,asal-usul pangreh praja berasal dari kalangan pemimpin pemberontakan maupun dari lawan-lawannya, yaitu para pejabat ibu kota kerajaan sendiri. Pangreh praja misalnya, sering kali bertugas untuk mengeksploitasi kekayaan alam Nusantara dan sering menindas rakyat.

Administrasi negara pada dasarnya masih primitif atau tradisional (belum begitu mengenal teknologi modern). Pentingnya kekuatan fisik nampak didalam pemujaan terhadap ke kesatriaan (kesatri atau kaum bangwasan sangat dihormati). Kesederhanaan administrasi yang diulang-ulang secara identik mulai dari struktur dan tidak adanya perbedaan fungsi didalam kedudukan para pemimpin. Pada masa kerajaan mataram terdapat permasalahan dalam pemerintahan yaitu dalam menyatukan negara, memanfaatkan pernikahan antar daerah atau suku, hubungan yang bersifat pribadi. 

Seseorang pejabat yang baik berada dalam kesesuaian dengan lingkungan-lingkungan keagamaan fisik dan sosial. Hal inipun masih berlanjut hingga masa Belanda, bahkan masa sekarang, yang masih ada beberapa orang yang memanfaatkan pernikahan untuk keuntungan pribadi, khususnya untuk politik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline