Fenomena Sosial Media
Kemajuan sosial media, khususnya di bidang teknologi membuat manusia tak bisa membuktikan mana informasi objektif dan subjektif, informasi menjalar ke sosial media sehingga yang menerima informasi lansung membenarkan sesuatu tanpa ia dudukkan konsep nya. Ketika seorang subjek (manusia) tidak memiliki Metode dalam menganalisis sebuah informasi maka kecenderungan mereka hanya menilai tanpa melibatkan aspek rasio.
Sehingga persepsi berubah penilaian-penilaian subjektif, maraknya peredaran informasi fiktif membuat pengguna sosial media. Khusus nya pengguna yang tidak memiliki dasar berpikir logis atau proposisi dan kurang nya edukasi penggunaan sosial media membuat pemakainya terlihat merasa gelisah bahkan sosial media seakan-akan bagian dari dirinya. Maka, tidak heran bahwa manusia modern menyandarkan hakikat dirinya pada material. Bukan lagi menyandarkan Hakikat dirinya pada sesuatu yang filosofis, lalu bagaimana membatasi penggunaan sosial media ? Apakah lari ke hutan, gunung, atau jangan sama sekali menggunakan sosial media.
Penggunaan internet di Indonesia sangat pesat atau meningkat sebesar 1,5 juta orang tahun 2024. Lalu pertanyaannya demikian, apakah penggunaan sosial media di gunakan secara bijak atau hanya sebatas menyebarkan hoax. Lalu di benturkan oleh opini, sehingga kecanduan opium informasi tanpa menggunakan penyaringan informasi. Salah satu problem dan umumnya penggunaan sosial media adalah tidak memfilter informasi dan penggunaan sosial media hanya menelan mentah-mentah informasi yang di persepsi nya. Sehingga seakan-akan informasi yang di dapatkan nya adalah sebuah informasi benar. Perlu diketahui bahwa, apakah informasi sebagai tolok ukur kebenaran ? Apakah layaknya demikian membenarkan sesuatu tanpa melibatkan daya berpikir ?
Tak hanya demikian, oknum-oknum tertentu menyebarkan informasi tentang agama, politik, pembunuhan, pencurian, peperangan dan lain sebagainya. Membuat layaknya sebagai tontonan biasa-biasa saja, tak heran jika manusia modern keluar dari eksistensi dirinya. Menjadi pencandu opium bius, sehingga terlena dengan kata-kata motivator. Lalu setelah mendapatkan tontonan yang layak di tonton di jadikan sebagai pra-syarat kebahagiaan nya.
Manusia di cerabut dirinya dari Realitas, sehingga yang muncul kehampaan, kesedihan, bunuh diri, dan lari dari kenyataan. Tak heran suatu saat manusia akan mudah di benturkan sesama nya karena ia tertutup akan pengetahuan, pemikiran, dan pemahaman tentang dirinya. Manusia ekslusif, mereka akan terjebak dengan angan-angan nya sendiri, seakan ismenya lah yang benar secara mutlak. Lalu membeberkan dan mengklaim bahwa keyakinan mereka yang benar. Lalu memasukkan doktrin mereka pada masyarakat awam yang mudah dinabobokkan oleh oknum-oknum tertentu. Mendiktekan pemikiran-pemikiran nya tanpa membuka ruang diskusi.
Ali Syariati mengatakan bahwa "Dalam Realitas sosial banyak iblis berjubah agama"
Itulah fakta yang terjadi di Realitas. Oknum-oknum tertentu menjual ayat-ayat, agama, dan mendiktekan pemikirannya kepada Masyarakat. Seharusnya toko-toko masyarakat membantu bagaimana membuka cakrawala pengetahuan, tapi pengetahuan apa demikian ? Apakah pengetahuan tentang dirinya, tentang alam, tentang sosial, politik, atau hukum. Tak heran jika di abad 21 bahwa tiga dari total enam milyar penduduk dunia masih di lilit kemiskinan. (Karena ketidakadilan global), dapat di katakan bahwa fenomena di sosial media hanya opium pencandu untuk meninabobokan masyarakat.
Hegemoni tirani, meski begitu kita harus ingat bahwa pilihan kepada sesuatu bukalah satu-satunya kebenaran mutlak, apalagi kalau sampai menuduh pandangan lain salah karena tidak sejalan dengan pandangan kita.
Penulis:Isra
Yogyakarta, 18 Desember 2024