Lihat ke Halaman Asli

"Penyakit"

Diperbarui: 31 Oktober 2016   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengantar. Tulisan ini diambil dari kolom harian Singgalang yang terbit 30 Oktober 2016. Menarik karena didalamnya dibahas tentang sisi gelap "kepemimpinan tertutup" di partai dakwah PKS, selamat membaca.

Anis Matta bercerita. Dia sedih dan tersenyum. Kehidupan susah yang dialami masyaikh-masyaikh di Timur Tengah, sungguh menyayat hati. Negeri para nabi itu, bergolak tiap sebentar. Adapun, yang membuat dia tersenyum, masyaikh-masyaikh itu, hidup seperti orang kebanyakan.

Tak terlihat lagi perbedaan. Tentu, dalam hal penampilan fisik. Jubah-jubah besar, harum, rapi, megah, dan kesan wah lainnya. Tak ada lagi jarak atau batas atau menara gading yang biasa dibuat masyaikh-masyaikh itu. Kadang, mereka harus berebut bus kota seperti orang kebanyakan.

Kadang menang kadang kalah. Bahkan tersungkur. Semakin keras, karena pergolakan tak menentu. Bahkan, ancaman kematian, penjara, teror, hadir dan mengintai setiap saat. Pendeknya, tak ada lagi menara gading. Semua mereka turun gunung dan bertahan seperti orang kebanyakan.

Tentu, yang benar-benar fakih, berilmu, tetap tampak perbedaannya. Meski seperti orang kebanyakan, auranya tetap keluar. Bak emas tetap emas, meski berada di dalam lumpur. Hakikat menara gading itu tak ditentukan oleh penampilan fisik, tapi nonfisik. Tapi, ada juga yang pupus.

Ada semacam "penyakit" di kalangan para masyaikh, atau orang-orang yang mempelajari ilmu agama bahwa ilmu yang dipelajarinya itu mengubah tak saja tindak-tanduknya, juga hampir semua penampilannya. Semakin dalam ilmunya semakin dalam juga jubahnya. Tak jarang, harga dan kualiatasnya pun, di atas rata-rata. Dan itu yang membedakannya, dengan orang kebanyakan.

Tentu tak ada masalah dengan semua itu, jika dia tetap rendah hati. Bak ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Tapi, dengan penampilan seperti itu, mustahil dia melakukan kerja-kerja sebagaimana orang kebanyakan. Mengejar bus kota, berdiri di kereta, misalnya? Dan sebagainya.

Apalagi, bila dia punya murid yang banyak, dan mengelu-elukannya. Bahkan, memanggil namanya saja tanpa embel-embel ustaz, habib, masyaikh, buya; ada saja orang yang tak berkenan. Termasuk, sikapnya pun, agak berlainan. Maka, makin berjaraklah dia dengan orang kebanyakan.

Semakin di atas dia, melambung. Di menara gading. Seperti orang suci, tak ada lagi salah. Sudah jelas-jelas kesalahannya, masih dibebankan ke orang lain. Malah, mungkin dia lupa kapan terakhir berbuat salah? Tiap saat bicara surga, tapi butuh piknik juga ke Eropa? Susah terjangkau. Padahal, bila Nabi bersama para sahabat, sulit dibedakan Nabi dan para sahabat, karena menyatu.

Aa Gatot, Dimas Kanjeng Taat Pribadi, dalam beberapa hal, juga bisa diletakkan di posisi ini. Tapi, bukan sungguh-sungguh, ilmu agama yang dia pelajari. Para pengikutnya mungkin saja beranggapan begitu, bahkan lebih. Ada konsep Ratu Adil, Mesiah, Para Penyelamat untuk orang-orang seperti itu. Tapi, saat jubahnya lepas, dia seperti orang kebanyakan, bahkan tampak rendah.

Tapi, masih mendingan juga ketimbang orang-orang yang belajar ilmu agama, tapi tindak-tanduknya, penampilannya, justru bertentangan dengan ilmu yang dipelajari. Malah, dia menjadi musuh agama itu sendiri. Aneh-aneh saja tafsir yang dibuatnya; hanya pembenaran atas sikapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline