Lihat ke Halaman Asli

Pelupessy Is

is pelupessy

Elegi Adipura di Bumi Manise

Diperbarui: 10 September 2017   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Agustus 2017 esok lagi akan berakhir namun menyimpan sejuta tanya, puncak hari lingkungan yang dilaksanakan di bulan ini, seolah memberi sinyal soal kemerdekaan lingkungan, kemerdekaan yang bukan absolut secara fisik mengusir penjajah saja. Kemerdekaan yang termaknai secara luas akan pentingnya hidup dengan lingkungan, sayangnya kemerdekaan lingkungan itu seolah terasa tak berarti bagi Teluk Ambon.

Kota Ambon adalah salah satu penerima Adipura tahun ini, penghargaan ini bukan baru bagi kota berjulukan manise ini, sayangnya penghargaan itu terasa hambar dengan kondisi kekinian Teluk Ambon, sebagai salah satu urat nadi kota. Tanpa meniadakan niat baik pemkot dan semangatnya dalam mempercantik kota, sesuatu yang patut diacungi jempol. 

Dengan pasukan pembersihnya yang siap siaga dari pagi sampai malam beberapa kawasan nampak terus mempercantik diri dengan keindahan tanpa sampah. Namun naif rasanya kesiap siagaan itu tidak berlaku di Teluk Ambon bahkan cenderung terabaikan, penghargaan yang disambut sukacita warga itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi kebersihan yang menjadi ukuran tropi tersebut. 

Entah kajian-kajian apa yang dipakai tim penilai hingga  meniadakan Teluk Ambon sebagai bagian Kota Ambon ini jauh dari penilaian. Sebagai bagian dari kota Ambon, bahkan sebagai tumbal keganasannya pembangunan, apakah Teluk ini hilang dari pantauan penilaian, Wallahualam.

Perkembangannya kondisi Teluk Ambon kini harus menjadi perhatian semua pihak, sebagai kawasan yang punya andil dalam aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat kota Ambon, tak ayal membuat dia tak luput berbagai macam persoalan. Dalam perkembangannya Teluk sedikit demi sedikit mulai mengalami masalah, hal itu terlihat sejak penelitian Pusat Penelitian Laut Dalam-LIPI (P2LD-LIPI) menemukan berkurangnya ikan umpan di Teluk Ambon, hingga masalah lingkungan yang lebih kompleks lagi seperti logam berat dan kematian massal ikan.

Kota Ambon dengan pemandangan teluknya yang indah dan elok seolah menjadi anti tesis atas pesan-pesan moral tentang kesadaran lingkungan. Hal itu tercermin dimana ketika di hari Lingkungan Hidup dan Laut sedunia seluruh penduduk bumi diajak untuk meningkatkan kesadaran dan melakukan tindakan untuk mendukung dan mendorong perubahan dalam pelestarian lingkungan, pesan-pesan bernilai moral ini seolah tidak  membumi bagi kawasn di ujung timur Indonesia ini. 

Reklamasi untuk jembatan dan rumah sakit, pelabuhan, pusat perdagangan serta pasar tradisional serta aktivitas pembukaan lahan di daerah pesisir dan areal gunung disekitar teluk menjadi kawasan pemukiman dan bisnis terlihat tumbuh subur turut memberi sumbangan bagi kerusakan di kawasan ini, yang dampak gusuran dengan sedimennya bermuara dan merusak pesisir teluk, tanpa sadar seolah merampas hak kesulungan perairan ini.

Gambaran ini bukanlah anti-tesis dari sebuah penghargaan lingkungan bagi kota ini, bukan pula cacian bagi kota tercintaku ini. Sebagai "tampa putus pusar"( tempat kelahiran) miris rasanya melihat kondisi ini, keberadaan sampah-sampah diantara hilir mudik perahu, dan diantara kapal-kapal yang berlabuh hingga di pesisir pantai seakan-akan menjadi pemandangan biasa. 

Data Bappeda Kota Ambon (60% sampah yang bias diangkut) yang menunjukkan keterbatasan dalam pengelolaan masalah sampah, seringnya kebijakan loncat pagar dalam tata ruang Teluk Ambon, moga bukan jadi pembenaran soal carut-marutnya pengelolaan kawasan ini.

Ambon, 31 Agustus 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline