Istilah yang beberapa bulan belakangan ini ramai menjadi topik pembicaraan orang, tampaknya masih akan menjadi topik yang menarik jika ditelusuri lebih dalam lagi, mengenai apa saja yang termasuk di dalam KDRT itu sendiri. Tulisan ini juga saya buat karena beberapa teman saya mengeluh bahwa mereka sepertinya mengalami KDRT tapi tidak tahu apakah yang mereka alami benar-benar termasuk KDRT dan bagaimana melaporkannya. UU No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan KDRT adalah UU yang dibuat untuk melindungi setiap orang dari kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau orang yang kebetulan berada satu tempat tinggal. Saya bicara dengan cara saya sendiri saja ya, mudah-mudahan tidak menambah kebingungan. Dalam beberapa kali talkshow buku GOOD LAWYER, saya mendapatkan beberapa pertanyaan juga seputar kasus ini. Penanyanya kebetulan semua perempuan. Entah kenapa perempuan kok sepertinya menjadi soft target dari KDRT ini. Tapi memang dalam UU Penghapusan KDRT pun menyebutkan definisi dari KDRT sendiri adalah : “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.” Mari kita sama-sama kupas kalimat di atas. “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan” – Ini karena perempuan lah yang paling sering menjadi korban dari perbuatan kekerasan di dalam rumah tangga. Tapi tentu saja ini tidak bisa diartikan bahwa hanya perempuanlah yang bisa melaporkan! Laki-laki juga bisa! “yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga” – Jadi perbuatan kekerasan yang termasuk dalam UU ini adalah yang akibatnya menimbulkan KESENGSARAAN, penderitaan secara FISIK, SEKSUAL, PSIKOLOGIS, dan/atau PENELANTARAN rumah tangga. Nah, kalau yang dalam rumah tangganya atau sekarang melihat hal tersebut terjadi di dalam rumah tangga seseorang yang kita kenal baik, coba rasakan dan perhatikan, adakah unsur itu di dalamnya. “termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.” – Perhatikan kata ANCAMAN di situ. Kalau terjadi tindakan pengancaman yang dilakukan untuk melakukan suatu perbuatan, memaksa, dan merampas kemerdekaan dan itu dilakukan secara melawan hukum, maka itu termasuk KDRT. Tapi sekarang masalahnya, apakah yang membaca ini bisa semua mengerti? Padahal ini baru membahas soal satu Pasal saja yang menjelaskan mengenai definisi dari KDRT yang dimaksud dalam UU ini. Kalimat pertama mungkin jelas. Kalimat kedua, itu perlu pembuktian lebih lanjut. “yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga” – Timbulnya kesengsaraan ini harus dibuktikan kalau seseorang ingin melaporkan KDRT yang dialaminya. Lebih lanjut lagi kita lihat dalam Pasal 5 - 9 (duh tetap ngomong soal pasal nih, karena memang ada di situ rinciannya). ***** Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga ***** Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Coba dibaca sekali lagi deh. “Perbuatan yang MENGAKIBATKAN RASA SAKIT, JATUH SAKIT, atau LUKA BERAT.” – Jadi, kekerasan fisik tadi itu harus mengakibatkan seperti yang tertulis di Pasal 6 ini. Dan ini harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter atau rumah sakit. ***** Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sekali lagi kita baca yuk! Perbuatan yang MENGAKIBATKAN KETAKUTAN, HILANGNYA RASA PERCAYA DIRI, HILANGNYA KEMAMPUAN UNTUK BERTINDAK, RASA TIDAK BERDAYA, DAN/ATAU PENDERITAAN PSIKIS BERAT pada seseorang. ***** Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Baca lagi yuk point a dan b di atas sama-sama. Bacanya agak keras dan bersuara nggak apa-apa supaya bisa tertanam di otak kita. Tapi kalau lagi di kantor, nggak usah keras-keras nanti dikira sakit mental! *hihi… Bagian a : “PEMAKSAAN hubungan seksual yang dilakukan TERHADAP ORANG YANG MENETAP DALAM LINGKUP rumah tangga tersebut;” Nah… jadi kalau sedang tidak mood berhubungan seksual, tidak boleh memaksa! Kalau sering dipaksa, nanti jadi frigid atau malah muak? Muak sama orang yang memaksa tapi sama orang lain nggak muak? *haha... Sorry, just kidding. Jangan tegang-tegang ah bacanya. Tegang nggak ngerti percuma, mendingan santai tapi ngerti! :)) Bagian b : “PEMAKSAAN hubungan seksual terhadap SALAH SEORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGANYA DENGAN ORANG LAIN untuk tujuan KOMERSIAL DAN/ATAU TUJUAN TERTENTU" Yah kalau yang ini jelas lah ya… Tapi bukan tidak mungkin, masih ada juga perempuan atau anggota keluarga yang dijual oleh anggota keluarganya sendiri. Kalau yang dijual suaminya gimana ya? :D ***** Pasal 9 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Soal menelantarkan ini, pernah ada bahasannya nih di acara TOPIK StarANTV. Salah satu korban yang ditelantarkan oleh suaminya sesaat setelah malam pertama, ditinggalkan begitu saja, akhirnya menimbulkan trauma yang mendalam hingga mengakibatkan KEKERASAN PSIKIS. Si laki-laki akhirnya berhasil dijerat hukuman sekitar 8 bulan penjara. Memang tidak banyak sih hukumannya, tapi mudah-mudahan menimbulkan efek jera, karena biar bagaimanapun, trauma ditelantarkan ini masih harus terus diupayakan kesembuhannya. Sedikit menghubungkannya dengan kasus yang dialami teman saya, sepertinya Pasal 9 ayat (2) ini bisa dijadikan dasar hukum. Ayat (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang MENGAKIBATKAN KETERGANTUNGAN EKONOMI dengan cara MEMBATASI DAN/ATAU MELARANG UNTUK BEKERJA YANG LAYAK DI DALAM ATAU DI LUAR RUMAH SEHINGGA KORBAN BERADA DI BAWAH KENDALI orang tersebut. ***** Hal yang masih sulit untuk dibuktikan adalah KEKERASAN PSIKIS, yang sampai saat ini masih harus terus diupayakan agar hasil pemeriksaan oleh psikolog dapat dipakai sebagai dasar pembuktian dari akibat yang dihasilkan oleh kekerasan psikis tersebut. Untuk membuktikan bahwa kekerasan psikis telah terjadi, butuh PEMERIKSAAN YANG HARUS DILAKUKAN OLEH PSIKIATER, yang hasilnya nanti bisa dijadikan sebagai bukti yang kuat di pengadilan. Dalam persidangan pun kesaksian dari seorang saksi ahli dan saksi yang ada di dalam lingkup rumah tangga (jika ada) juga akan sangat membantu memperkuat bukti tersebut. Tapi kalimat “hilangnya rasa percaya diri” ini bagaimana ya? Mungkin psikolog atau psikiater punya jawabannya juga ya. Karena kalau sebelumnya juga sudah tidak punya rasa percaya diri, mana bisa hilang? Anyway, kalau sampai pada paragraph ini masih bingung juga, coba balik lagi ke atas. Tanamkan dulu dalam pikiran kita, supaya kita bisa lebih mengerti lagi hal-hal apa saja yang termasuk dalam KDRT ini. Nggak apa-apa kok, nggak usah malu-malu, santai aja bacanya… :) KDRT sebenarnya bisa membahayakan bagi si pelaku kekerasan itu sendiri jika kekerasan psikis yang dilakukannya sudah melampaui batas. Satu contoh adalah seorang perempuan yang memutilasi suaminya karena dianggap telah melakukan kekerasan kepadanya. Ketika dia memotong kepalanya, dalam pikiran si isteri, kepalanya pantas dipotong karena dia sering memaki, mengeluarkan kata-kata kasar, membentak, dan memelototi serta memberikan pandangan menghina. Ketika dia memotong tangannya, dia berpikir tangan itu harus dipotong karena sudah sering menyakitinya dengan pukulan-pukulan dan kekerasan yang dilakukan oleh tangan itu. Bagian tubuh yang lainnya, pasti punya kesalahan masing-masing! Ini adalah salah satu akibat dari KDRT. Pelakunya menjadi dua pihak. Suami dan isteri. Jika saja si isteri lebih dulu melaporkan suaminya sebelum mengambil tindakan sendiri karena psikisnya akhirnya menjadi terganggu juga, maka kemungkinan besar dia tidak akan sampai menjadi korban sekaligus pelaku KDRT. Ada lagi kasus dimana seorang perempuan yang sebenarnya sering menjadi korban KDRT oleh suaminya yang kebetulan seorang anggota polisi. Di saat dia tak tahan lagi dengan kekerasan yang dialami, dia melawan dengan menggigit tangan suaminya. Karena ketidak-tahuannya atas hak-haknya yang bisa dilindungi melalui UU ini, maka akhirnya dia sendiri menjadi pelaku KDRT karena dilaporkan oleh suaminya! Keadaan menjadi berbalik, padahal seharusnya dia bisa lebih dulu melaporkan suaminya. Dalam pengadilan terbukti keduanya sama-sama melakukan KDRT dan ternyata hukuman yang diberikan kepada perempuan lebih berat karena profesi si laki-laki yang polisi dianggap sebagai ‘jasa’ nya kepada Negara, dan pada saat dilaporkan, memang yang melakukan kekerasan si perempuannya! Pertanyaan berikutnya yang sering saya dengar, adalah : “BAGAIMANA MELAPORKANNYA KALAU MENGALAMI KDRT?” Kita lihat Pasal 26 berikut ini : ***** Pasal 26 (1) Korban berhak melaporkan secara Iangsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. (2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. ***** Jadi, sesuai dengan Pasal 26 tadi, korban KDRT berhak melaporkannya KEPADA KEPOLISIAN BAIK DI TEMPAT KORBAN BERADA MAUPUN DI TEMPAT KEJADIAN PERKARA. Jika korban sendiri tidak bisa melaporkan, bisa memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan KDRT yang dialaminya. Orang lain ini siapa ya? Tentu saja orang lain ini bisa siapa saja yang kita berikan kuasa. Akan tetapi mengingat di Indonesia pihak kepolisian masih seringkali menganggap masalah KDRT adalah urusan pribadi dan urusan dalam rumah tangga, ada kesan bahwa mereka cenderung menganjurkan agar pihak yang bertikai berdamai dulu. Akan tetapi jika KDRT yang dialami sudah dirasakan sangat serius, maka menghubungi pihak-pihak yang kompeten untuk membantu mengadvokasi adalah langkah yang tepat. Salah satunya adalah LBH APIK yang sudah banyak membantu para korban KDRT untuk memperjuangkan kepentingan hukum mereka. Para perempuan, Akankah kita masih tetap berdiam diri melihat nasib perempuan selalu menjadi pihak yang lemah karena ketidak-tahuan mereka? Mari kita sama-sama bergandeng tangan, berjuang bersama, memberi perhatian kepada sesama perempuan, hingga nasib perempuan tidak lagi menjadi pihak yang tertindas, terutama di dalam rumah tangga mereka. Berumah tangga adalah impian indah para perempuan. Akan tetapi impian indah itu berubah menjadi neraka ketika mereka berusaha menutup mata atas perilaku calon suami mereka sebelum menikah. Sifat-sifat yang bisa memunculkan kekerasan itu sebenarnya sudah ada ketika masih dalam tahap pacaran. Jangan tutup mata kita! Jangan pernah berharap sifat dasar seseorang akan begitu mudah berubah hanya karena sebuah ikatan perkawinan. Ketika ikatan perkawinan membuat orang yang biasa didoktrin mengenai betapa berkuasanya seorang laki-laki di dalam rumah dan bahwa seorang perempuan harus patuh tanpa kecuali, maka disitulah bibit-bibit KDRT bisa timbul. Perkawinan adalah hal yang begitu indah bagi perempuan, jangan sampai keindahan itu membutakan hingga membiarkan diri kita menikmati keindahan semu dalam penderitaan. Meskipun sudah ada UU PKDRT, tapi kasus kekerasan ini masih marak dan UU-nya masih juga dianggap belum memadai. Oleh karenanya, mari kita besama-sama melawan jika terjadi kekerasan terhadap perempuan di sekitar kita ataupun pada diri kita sendiri. "Remember the Dignity of your WOMANHOOD. Do not appeal. Do not beg. Do not grovel. Take courage, Join hands, Stand beside me, Fight with me!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H