Komunikasi politik merupakan jantung dari setiap sistem demokrasi. Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi yang besar dan beragam, komunikasi politik memegang peran penting dalam menghubungkan pemerintah, politisi, dan masyarakat. Media massa, baik tradisional maupun digital, menjadi alat utama dalam menyampaikan pesan politik dan membentuk opini publik. Dalam beberapa tahun terakhir, munculnya media sosial telah mengubah lanskap komunikasi politik secara signifikan. Kampanye politik tidak lagi terbatas pada media lama seperti iklan televisi atau koran, melainkan telah meluas dengan berkembangnya media baru misalnya platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Namun, komunikasi politik di Indonesia tidak terlepas dari tantangan. Fenomena penyebaran hoaks, polarisasi politik, dan manipulasi opini publik melalui media sosial menjadi ancaman nyata bagi kualitas demokrasi. Dalam esai ini, akan membahas berbagai aspek komunikasi politik di Indonesia pada kasus masa kini, termasuk peran media, strategi kampanye, penggunaan media sosial oleh politisi, serta dampaknya terhadap masyarakat dan demokrasi.
Media adalah saluran atau alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan sebuah pesan kepada audiens atau penerima. Media massa konvensional, seperti televisi, radio, dan surat kabar, masih berperan penting untuk komunikasi politik di Indonesia saat ini. Karena cakupannya yang luas, televisi menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat. Televisi adalah alat yang sering digunakan oleh politisi untuk menjangkau khalayak luas melalui iklan kampanye atau wawancara. Akan tetapi, media ini, di sisi lain, sering dikritik karena hubungannya dengan pemilik modal yang memiliki kepentingan politik. Misalnya, orang-orang yang terlibat dalam politik atau memiliki afiliasi atau hubungan dengan partai tertentu membeli beberapa stasiun televisi besar di Indonesia demi kepentingan pribadi. Hal tersebut seringkali dapat menyebabkan bias pemberitaan yang terjadi ketika media lebih cenderung mendukung salah satu pihak daripada bersikap netral. Akibatnya, berita yang disampaikan kadang tidak objektif, sebab beberapa hal sudah diagendakan atau disetting tentang berita apa yang sampai ke audiens. (Meifilina, 2021)
Teori agenda-setting (McCombs dan Shaw, 1972) sangat relevan untuk memahami fenomena ini. Teori ini menjelaskan bahwa media memiliki kemampuan untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting oleh publik. Sebagai contoh, isu UU Cipta Kerja pada tahun 2020 menjadi sorotan utama media massa, yang kemudian memengaruhi munculnya protes besar-besaran di berbagai daerah. Media pada saat itu memainkan peran penting dalam membentuk opini publik tentang UU Cipta Kerja pada tahun 2020. Media mainstream menyiarkan protes besar-besaran di berbagai kota, sementara media sosial menyebarkan cerita yang mendukung dan menentang. Hashtag seperti #TolakOmnibusLaw menyebar, menunjukkan bagaimana media sosial dapat berfungsi sebagai alat untuk mobilisasi massa. Namun, banyak berita palsu yang beredar, menyebabkan masyarakat bingung. Kasus ini juga menunjukkan betapa relevannya teori framing (Entman, 1993) di negara kita. Media mainstream yang mendukung pemerintah cenderung menekankan keuntungan finansial dari UU Cipta Kerja, sementara media alternatif dan aktivis sosial menekankan dampak buruknya terhadap karyawan. (Rahmah, 2021)
Media digital, di sisi lain, memberi masyarakat opsi untuk mendapatkan informasi yang lebih beragam. Portal berita online independen seperti Kompas, CNN, Tempo, dan lainnya sering digunakan sebagai referensi untuk analisis politik yang lebih menyeluruh dan kritis. Namun, masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses internet yang memadai seringkali tidak dapat mengakses media digital. Dengan munculnya teknologi digital, strategi kampanye politik Indonesia telah berubah secara dramatis. Kampanye politik yang sebelumnya menggunakan lebih banyak rapat umum, baliho, dan selebaran, saat ini justru lebih bergantung pada taktik digital seperti pemasaran media sosial, influencer politik, dan iklan online yang ditargetkan. Bahkan, jika dilihat dari pemilihan presiden tahun 2019 sampai sekarang, mereka cenderung memanfaatkan media online sebagai bentuk strategi kampanye dan mencari dukungan, karena mereka sadar akan influence atau pengaruh dari media yang sangat besar. (Budiyono, 2016)
Dengan menggunakan data pengguna media sosial, tim kampanye dapat menyampaikan pesan yang sangat spesifik kepada kelompok tertentu berdasarkan preferensi, lokasi, atau perilaku online mereka. Ini membuat pesan kampanye lebih relevan dan efektif, tetapi menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan etika. Selain itu, politisi sering menggunakan tokoh masyarakat atau influencer di media sosial untuk mendukung kampanye mereka. Strategi ini terlihat efektif karena masyarakat cenderung lebih percaya pada rekomendasi orang yang mereka idolakan dibandingkan iklan konvensional. Contohnya kampanye yang digerakkan oleh data (data-driven campaigns)---seperti yang terlihat pada Pemilu 2019---telah menjadi tren. Tim Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mempelajari psikografi dan demografi pemilih melalui survei dan analisis data. Selain itu, strategi ini melibatkan penggunaan buzzer dan influencer di media sosial untuk menciptakan citra kandidat yang positif dan menyerang lawan politik secara halus. Ini sejalan dengan teori aliran komunikasi dua tahap (two-step flow of communication ) dari (Katz dan Lazarsfeld, 1955), yang menyatakan bahwa tokoh-tokoh penting sering melakukan pengaruh media sebelum sampai ke publik. Dimana pada kasus ini, selebriti dan tokoh masyarakat Indonesia sering digunakan untuk menyebarkan pesan politik. (Muzahid Akbar Hayat et al., 2021)
Media Sosial dan Pengaruhnya terhadap Komunikasi Politik
Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah mengubah cara para politisi berkomunikasi dengan publik. Dengan platform ini, politisi dapat langsung berinteraksi dengan pemilih melalui komunikasi dua arah. Misalnya, Presiden Joko Widodo sering menggunakan media sosial untuk menjawab pertanyaan publik atau menyampaikan informasi tentang inisiatif pemerintah. Meskipun demikian, media sosial juga menjadi tempat yang ideal untuk menyebarkan hoaks dan disinformasi. Misalnya, selama pemilu 2019, banyak berita palsu tersebar di media sosial dengan tujuan memengaruhi persepsi publik terhadap kandidat tertentu. Fenomena ini menunjukkan seberapa efektif media sosial dalam komunikasi politik. (Alam, 2021)
Selain itu, media sosial sering menimbulkan perbedaan pendapat politik. Algoritma di platform seperti Facebook dan Twitter cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan perspektif pengguna, memperkuat bias. Karena itu, masyarakat terjebak dalam "echo chamber", di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang mendukung keyakinan mereka sendiri, dan kemungkinan alternatif diabaikan. Kemudian, media sosial juga menghadirkan masalah seperti polarisasi dan penyebaran berita palsu (fake news). Teori spiral keheningan (spiral of silence) dari (Noelle-Neumann, 1974) dapat digunakan untuk memahami bagaimana media sosial dapat menciptakan tekanan sosial yang membuat kelompok minoritas cenderung diam dan takut menyuarakan pendapat mereka. Sebagai contoh, banyak orang merasa terintimidasi untuk menyuarakan pendapat mereka yang bertentangan dengan narasi yang ada di media sosial, contohnya bisa dilihat dari fenomena RUU KPK. (Priadji & Rusadi, 2023)
Pengunaan Media Sosial oleh Politisi
Ganjar Pranowo, sebagai kandidat presiden pada saat itu, Ganjar Pranowo menggunakan Instagram dan TikTok secara aktif untuk menarik perhatian generasi muda. Dia sering membagikan konten yang ringan dan menyenangkan, seperti video pendek tentang komedi atau aktivitas sehari-hari. Ini mendukung gambarannya sebagai seorang pemimpin yang tenang dan dekat dengan rakyat. Contohnya, Video TikTok Ganjar yang menunjukkan dia berinteraksi dengan remaja di acara publik sering menjadi viral, video tersebut kemudian menumbuhkan citra dirinya sebagai "pemimpin milenial". (Wahyuningsih et al., 2023)
Anies Baswedan, mantan gubernur DKI Jakarta, berbicara tentang kebijakan, pendapat politik, dan tanggapan terhadap masalah nasional melalui YouTube dan Twitter. Strategi ini menunjukkan pendekatan yang lebih formal dan intelektual, yang menarik pemilih yang lebih kritis dan terpelajar. Misalnya saat banjir melanda Jakarta, Anies sering membagikan video di mana dia turun langsung ke lapangan, menggunakan media sosial untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin.