Saat ini kita memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia. Merdeka dari penjajahan bangsa lain, merdeka menjadi sebuah negara sendiri. Kita adalah bangsa yang bisa berdiri sendiri mengatur segala sendi kehidupan. Selama ini kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan negara yaitu menjadikan masyarakat adil dan makmur dalam segala bidang.
Namun masih banyak PR yang belum terselesaikan. Beberapa PR bidang pendidikan yaitu masih adaya ketidakmerataan kualitas sekolah maupun kampus, masih banyaknya masyarakat yang belum bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi, masih diprioritaskan nilai sebagai indikator keberhasilan pendidikan dan lain-lain. Sebenarnya apa yang menyebabkan kendala-kendala tersebut? Ada baiknya kita kupas satu per satu penyebab kendala pendidikan saat ini.
Ketidakmerataan kualitas sekolah dan kampus umumnya disebabkan adanya sekolah atau kampus favorit. Keberadaan sekolah dan kampus favorit ini menyebabkan siswa dan mahasiswa yang terbaik menumpuk di sekolah dan kampus tersebut, akibatnya sekolah dan kampus yang lain kekurangan siswa atau kekurangan siswa teladan.
Tingginya minat siswa masuk ke sekolah dan kampus favorit dikarenakan ada “jaminan” kualitas berupa guru/dosen dan sarana prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar. Hal ini menyebabkan semakin tingginya persaingan antar siswa untuk masuk ke sekolah tersebut namun disisi lain kurangnya minat siswa untuk masuk sekolah dan kampus lain.
Kendala yang berikutnya yaitu masih banyaknya masyarakat yang belum bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal yaitu semakin tingginya biaya pendidikan, sementara pendapatan masyarakat masih relatif rendah atau akibat adanya lokasi pendidikan tinggi tidak dapat dijangkau oleh masyarakat.
Hal yang lain yaitu nilai yang masih diprioritaskan sebagai indikator keberhasilan pendidikan menyebabkan beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya yaitu mudah. Dengan melihat rata-rata IPK atau nilai rapot yang baik akan mengindikasikan bahwa pendidikan di sekolah dan kampus itu baik. Padahal mungkin kenyataannya tidaklah demikian.
Menjadikan nilai sebagai indikator keberhasilan justru memunculkan kelemahan yaitu saling berlomba dengan cara apapun untuk mendapatkan nilai tertinggi. Padahal ada faktor lain yang membuat mereka bertahan di dunia kerja setelah lulus nanti. Kemudahan nilai menjadi indikator salah satunya juga disebebkan oleh adanya kesibukan dari guru atau dosen sendiri.
Dosen dan guru terlalu disibukkan dengan adanya administrasi yang sangat menguras tenaga. Pembuatan RPP, pengisian beban kerja dosen/guru, penelitian, pengabdian yang harus diisi setiap semester maupun pengisian borang akreditasi yang sangat melelahkan.
Hal ini menjadikan nilai menjadi indikator yang sangat mudah untuk menilai seorang siswa. Padahal boleh jadi seorang mahasiswa yang IPK nya pas-pasan memiliki kelebihan lain seperti sikap pemimpin, gampang bekerjasama atau hal yang lain.
Lantas apa akibatnya kalau hal-hal terbebut diatas dibiarkan berlarut-larut? Sebenarnya hal yang paling gampang adalah melihat dengan sudut pandang orang lain. Dengan melihat sudut pandang orang lain, kita bisa mengoreksi diri dan memperbaiki apa yang harus diperbaiki.
Bagi sektor pendidikan salah satunya adalah dengan melihat laporan PISA. Menurut Wikipedia PISA (Programme for International Student Asessment) yaitu adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).