Lihat ke Halaman Asli

Gelas yang Penuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tjitajam, June 10, 2010

Pagi itu kira-kira jam sepuluh pagi. Aku masih dikejar deadline merangkum dan menerjemahkan headlines kroan-koran nasional untuk para copy editor di kantorku.Rekan sejawatku yang duduknya pas berhadap-hadapan denganku, hanya disekat oleh partisi papan, sudah datang dengan gaya santainya. Clana jins, kaos, dan ransel besar. HAbis ngegym kayanya di bawah, as usual.

Entah mengapa, kami yang meski sebenarnya lumayan klik namun jarang ngobrol panjang lebar dikarenakan tugas yang menumpuk (atau, kalopun sedang lowong, kami masing2 tenggelam dalam dunia maya masing2), pagi itu terlibat obrolan santai yang lama2 mengarah kepada sebuah diskusi yang lumayan beratkalo dilihat dari intensitas dan kebiasaan kami. Kalo kata Bang Malih, kaga sari-sarinye, lah.

Obrolan berawal dari pertanyaannya tentang kondisi mataku yang tak secerah biasanya. Asa lingkar sedikit menghitam di bawah kelopak mata. “Begadang lagi, neng?” Begitu kira2 dia membuka obrolan pagi itu. Aku Cuma nyengir sambil membolak-balik halaman koran2. Satu dua kalimat pun akhirnya bersaut-satuan mencungul dari diskusi kami pagi itu.

“Gelas gw udah penuh. Nat” Begitu dia biasa menyapaku. “Gw ga perlu orang lain untuk mengisi kekosongan gw. Gw cukup hepi dengan apa adanya gw. Kalau ada yang mencurahkan kasih sayang keg w ya sukur sih. Itu akan membuat gw menumpahkan isi gelas gw. Kan gelas gw udah penuh.”

Teori gelas penuh, gelas kosong, dan gelas bocor mewarnai diskusi kami saat itu. Hmm…interesting. Aku termasuk jenis gelas yang manakah??? *bertanya-tanya*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline