Indonesia telah banyak terjadi perkawinan beda agama, tetapi sampai saat ini masih diperdebatkan antara boleh dan tidaknya perkawinan beda agama. Permasalahan ini belum ada jawaban dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dikarenakan perkawinan beda agama belum diatur secara tegas dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sama halnya dengan peraturan pemerintahan Nomor 1 Tahun 1974 mengenai pelaksanaan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Menyangkut permasalahan perkawinan beda agama, sebagai pusat kementerian agama belum memberikan jalan keluar tentang masalah tersebut. Karena para ahli hukum Islam belum ada kata sepakat tentang halal atau tidaknya perkawinan beda agama.
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, menyerahkan kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan dilarang atau diperbolehkannya perkawinan beda agama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Mengenai peraturan perkawinan beda agama baik periode sebelum kemerdekaan sampai sebelum kemerdekaan, periode kemerdekaan sampai dengan sebelum lahirnya UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, periode setelah berlakunya UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Periode Sebelum Kemerdekaan
Indonesia merupakan daerah jajahan kolonial Belanda, pada periode sebelum kemerdekaan, sebagai wilayah kolonial tidak dapat disebut sebagai negara, dan tidak memiliki warga negara, maka politik hukum koloniaal Belanda mengaturnya dalam bentuk golongan penduduk. Berdasarkan pembagian golongan penduduk, antara lain: golongan penduduk Eropa, Timur Asing, Bumi Putra yang pada akhirnya memunculkan pengertian tentang perkawinan campuran yang disebut Regeling op de Gemengde Huwelijken,berdasarkan Koninklijk Besluit Van 29 Desember 1896 Nomor 23, Stb. 1898 No. 158.
Apabila terjadi perkawinan antara golongan penduduk yang berbeda, maka berlakulah regulasi, dengan ini menekankan pada pemberlakuan hukum dari status golongan penduduk pihak suami. Produk undang-undang ini hanya memandang dari sisi pendatanya saja, dengan sahnya perkawinan bukan berdasarkan sahnya perkawinan yang ditentukan oleh agama, maka pencatatan perkawinan menjadi dokumen utama yang meligitimasi perkawinan. Bentuk UU Perkawinan buatan kolonial Belanda disebut perkawinan campuran menurut Gemengde Huwelijken Regeling yang dikenal dengan singkatan GHR.
Telah disinggung bahwa sebelum berlakunya undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, di Indonesia masih belum ada keseragaman dalam melangsungkan perkawinan campuran khususnya perkawinan beda agama. Pelaksanaanya berdasarkan hukum dan golongan masing-masing. Karena itu perkawinan campuran merupakan perkawinan antara sistem hukum. Sehingga untuk mengatur perkawinan harus diberlakukan beberapa landasan hukum dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berbeda, antara lain:
- Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum agama yang telah dilebur dengan hukum adat.
- Bagi orang-orang Indonesia asli lainya, berlaku hukum adat.
- Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) Stb. 1933 No. 74.
- Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan KUH pendata dengan sedikit perubahan.
- Bari orang-orang Timur Asing lainya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainya tersebut berlaku hukum adat mereka.
- Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab UU hukum perdata.
- Periode Kemerdekaan Sampai Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
- Sejak proklamasi kemerdekan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan lahirnya UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia masih belum mempunyai UU Perkawinan sendiri dan pergaturan perkawinan di Indonesia masih menggunakan UU Perkawinan buatan Belanda.
- Perundang-undang atau pengaturan perkawinan buatan Belanda secara yuridis harus memiliki legitimasi yang kuat, yakni konstitusi negara. Karena dalam sejarah ketatanegaran Indonesia pernah berdasarkan tiga konstitusi, maka perlu dikemukakan dasar berlakunya perundang-undang buatan Belanda, dalam hal ini termasuk perundang-undangan perkawinan berdasarkan ketiga konstitusi yang pernah berlaku:
- dalam pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi: segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang baru.
- Pasal 192 ayat (1) UUD RIS Tahun 1949: peraturan-peraturan UU dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap nerlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan republik indonesia serikat selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah dan diubah oleh UU dan ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi.
- Pasal 142 UUDS 1950: masih berlaku peraturan-peraturan UU yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950, selama dan sekedar peraturan-peraturan itu tidak dicabut, ditambah dan diubah oleh UU.
- Serta dekrit Presiden 1959 kembali ke UUD Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pemberlakuan perundang-undangan perkawinan buatan kolonial Belanda yang memperoleh legitimasi secara konnstitusional tersebut pada dasarnya hanya bersifat sementara agar tidak terjadi kekosongan dalam bidang perkawinan. Berdasarkan dasar pemberlakuan tersebut untuk selanjutnya akan dikemukakan perundang-undang perkawinan buatan Belanda yang berlaku di Indonesia hingga 1974.
- Berpatokan pada UU perkawinan nomor 1 tahun 1974, yang berbunyi: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU, maka dengan berlakunya UU ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab UU hukum perdata (Burgerlijk Wetboek), ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia Stb. 1933 No. 74), peraturan perkawinan campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken Stb. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU, dinyatakan tidak berlaku.
Jika penetapan perkawinan beda agama oleh pengadilan, dengan dasar hukum seperti dalam pertimbangan-pertimbabgan hakim pada penetapan tersebut, maka menurut hukum positif, perkawinan bada agama tersebut sah, karena telah ditetapkan oleh pengadilan dan sesudah itu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Namun, jika mendapatkan penolakan dari Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, denan mengajukan permohonan ke pengadilan, untuk diberikan izin melangsungkan perkawinan beda agama dan perkawinan tersebut bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H