Lihat ke Halaman Asli

Gerobak Bakso

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tatkala suatu beban yang sangat berat mulai ku pikul, Menghidupi keluarga dan membiayai adik-adikku untuk mengejar cita-citanya tiada pilihan yang harus ku pilih melainkan bekerja ,bekerja dan teru bekerja .Aku hanyaLah anak yang masih ingin merunduk ketika aku menghadapi orang yang sudah lama memegang perut dan duduk dihadapanku.

Sore ini, setelah semuanya sudah siap akupun segera berangkat ketempat biasa bapak mangkal berjualan jualan bakso.

"Buk..... pamit dulu". Sambil Kucium tangan beliau.

"Iya...lee... hati-hati, pulangnya nda'usah malam-malam seperti kemarin.

"Nggeehh bu....

Setelah itupun aku segera mendorong gerobak bakso warisan bapak, sekarang gerobak ini aku yang mendorong, padahal baru kemarin rasanya aku meninggalkan keluargaku untuk mondok disalah satu pesantren dibanyuwangi, dan ketika tiba-tiba aku dikabari bahwa bapak meninggal setelah solat subuh, akupun kaget dan langsung berpamitan untuk pulang. setahuku bapak tidak pernah mempunyai penyakit parah. Tapi mungkin ini adalah jalan alloh yang harus dijalani dengan sabar dan ikhlas.

Semenjak kepergian bapak, gerobak bakso ini telah lama diam membisu dipojok rumah, ibu yang merasa sangat kehilangan hanya bisa menangis disetiap habis solat, dua adik perempuanku masih kecil dan harus tetap sekolah.

Setelah tiga bulan bapak meninggal, kesedihan ibu tak juga menghilang dari hatinya, walaupun sakarang aku dirumah bersama adik-adikku, tapi kehadiran kami sepertinya tidak juga mampu menghibur beliau, sekarang ibu juga sering sakit-sakitan, dan setelah aku periksakan ternyata ibu menderita gejala sakit jantung, ibu tidak boleh lagi berfikir berat, mendapatkan kabar buruk atau berada dalam tekanan psikologis, karna itu akan menaikkan tekanan darahnya dan penyakit jantunngnya akan kambuh.

Dalam tekanan hidup yang begitu sangat sulit, aku bukanlah nelayan ulung yang mampu menakhlukkan besarnya ombak. Dalam usiaku yang masih remaja ini dan baru meluluskan sekolah tingkat atasku tahun ini, adalah hal yang sangat berat, tapi aku tidak akan menyerah dalam hidup, aku harus bertahan dan terus berlayar. Untuk menjadi nelayan yang handal tidak saja dibutuhkan ombak tapi juga badai dan topan.

Lia masih kelas satu Tsanawiyyah, sedangkan via masih kelas lima sekolah dasar. Mereka semua masih membutuhkan biaya untuk meraih mimpinya yang panjang.

Aku adalah anak laki-laki satu-satunya, walaupun ibu tidak pernah menyuruhku untuk bekerja, tapi panggilan jiwa menyentakku bahwa aku mempunyai tanggung jawab dari alloh untuk menghidupi keluargaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline