Beberapa bulan terakhir, terdengar gegap gempita perubahan kurikulum. Perubahan yang meskipun belum menyeluruh diterapkan tetapi sudah cukup membuat para pegiat pendidikan sibuk. Sebagian menyetujui perubahan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Sebagian lagi menolak dengan alasan belum siap dengan perubahan itu sendiri.
Padahal sejatinya, perubahan itu memang suatu keniscayaan. Saya sendiri tidak akan membahas pro-kontra Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM), melainkan nilai-nilai yang menjadi pokok dalam Kurikulum Merdeka yang sedang ramai diperdebatkan. Beberapa pokok yang menurut saya sangat menarik adalah kurikulum ini selalu mengedepankan konsep pemimpin pembelajaran serta kemerdekaan pendidik dan peserta didik dalam belajar.
Pemimpin pembelajaran dalam berbagai referensi berperan aktif dalam mewujudkan kualitas pembelajaran yang tinggi. Iwan Syaril, yang kala itu masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, menyebutkan dalam sebuah kesempatan bahwa seorang pemimpin pembelajaran mempunyai peran vital dalam menentukan keberhasilan sekolah yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab untuk menyelaraskan semua elemen yang ada di sekolah tersebut. Ia juga akan mampu memberdayakan seluruh sumber daya di lingkungannya agar bekerja sama mengoptimalkan peserta didik secara menyeluruh dalam olah rasa, cipta, karsa serta karya demi muwujudkan keselamatan dan kebahagiaan peserta didik. Hal menarik lainnya bagi saya adalah adanya kemerdekaan bagi pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran.
Membahas kedua hal ini tentu tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia sendiri. Dahulu di era penjajahan Belanda, seorang Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantoro, seorang bangsawan dari Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat tergugah hatinya untuk memperjuangkan masyarakat kala itu melalui pendidikan.
Ki Hajar Dewantoro percaya bahwa kemerdekaan suatu bangsa diawali dengan kemerdekaan berpikir yang bisa diperoleh melalui pendidikan yang baik pula. Ia menyakini bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Baginya, manusia merdeka adalah manusia yang hidup lahir dan batinnya tidak tergantung pada orang lain tetapi mampu berdiri di atas kemampuannya sendiri.
Pendidikan yang baik akan menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang secara utuh agar kelak ia mampu memuliakan diri dan orang lain dan mandiri. Konsep inilah yang menurut Ki Hajar Dewantoro merupakan definisi kemerdekaan lahir dan batin bagi seseorang. Dengan definisi inilah, seorang pendidik diharapkan menjadi penuntun bagi peserta didiknya. Bahkan untuk memperjelas pemikirannya, Ki Hajar Dewantoro mengibaratkan pendidik sebagai petani kehidupan, pendidikan sebagai lahan sedangkan peserta didik diibaratkan sebagai benih tanaman.
Selanjutnya, adalah sebuah kewajaran jika sebutir bibit tanaman yang ditempatkan/ ditanam di lahan yang baik dengan mendapatkan perawatan optimal maka bibit tanaman itu akan tumbuh menjadi pohon yang bagus. Berbeda halnya dengan biji tanaman yang kurang bagus jika ditanam di tempat yang bagus dengan perawatan yang baik maka bibit itu juga akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya, meskipun bibit tanaman itu sudah baik tetapi tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya, bibit itupun tidak akan tumbuh dengan maksimal.
Di sinilah peran pendidik yang dituntut agar mampu memberikan peserta didik kebebasan tetapi tetap memberikan tuntunan dan arahan yang baik agar peserta didik tidak kehilangan arah. Pendidik bertindak seperti orang tua/ pamong yang momong dengan tetap memberikan arahan kepada anaknya dan tetap mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan sosial masyarakatnya untuk memaksimalkan potensi diri peserta didik.
Ki Hajar Dewantoro juga menegaskan agar pendidik harus tetap berhati-hati terhadap perubahan zaman yang ada. Meskipun dituntut untuk menuntun peserta didik agar ia mampu memaksimalkan potensi dirinya sesuai dengan kondisi sosial budayanya, tetapi pendidik juga harus aware terhadap tantangan zaman di mana peserta didik hidup. Sehingga pendidik harus terlebih dahulu mampu mengidentifikasi sumber atau konten pengetahuan yang akan dipelajari peserta didik apakah sesuai dengan kondisi lingkungan dan zaman yang berlaku.
Dengan adanya pertimbangan atas ilmu pengetahuan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di mana peserta didik tinggal, diharapkan mampu memadukan dan mengembangkan kemampuan cipta (kognitif), rasa karsa (afektif) dan karya (psikomotor) menjadi budi pekerti dan karakter baik dalam diri peserta didik.
Di sinilah keluarga turut andil dalam pendidikan. Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantoro menyebutkan bahwa keluarga menjadi tempat utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak/ peserta didik. Keluarga merupakan tempat sempurna untuk melatih kecerdasan budi-pekerti. Dengan kata lain, keluarga adalah sebuah ekosistem kecil yang menjadi wadah mempersiapkan seorang anak agar mampu hidup dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Di sinilah peran orang tua sebagai guru, penuntun dan pemberi contoh yang baik dalam pertumbuhan karakter baik dari seorang anak/ peserta didik. Keluarga pulalah yang menjadi tempat meneruskannya segala tradisi dalam hidup bermayarakat. Kondisi keluarga, menurut Ki Hajar Dewantoro, berbanding lurus dengan baiknya kesusilaan seseorang. Keluarga yang baik tentunya akan mengajarkan dan meneruskan nilai-nilai baik yang ada. Sebaliknya, jika ada nilai-nilai yang kurang pas, tentunya keluargalah yang akan mengoreksi dan memutus persebaran nilai-nilai yang bertentangan dengan kondisi sosial budaya yang ada.