Lihat ke Halaman Asli

Asing

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku tak tahu kemana sungai kehidupan ini akan bermuara. Arus pergerakan yang semakin deras, mengikis nilai-nilai yang terbentuk dalam sebuah proses pemaknaan yang panjang. Bukan, bukan sekedar tradisi pewarisan yang menjemukkan, tapi itulah sari pati kehidupan yang masih saja tersangkut di lorong-lorong waktu ini. Humus perjalanan yang mengendap di tengah kekejaman riak yang mengintai. Masih, masih saja keruhnya air menjadi cukupnya alas an untuk merusak, menggilas ke dalam, menyerobot ke samping. Meminggirkan yang tak layak, yang tak sesuai keinginan zaman, ke pinggir comberan. Ya, sebuah lingkaran setan yang tak akan pernah selesai, semakin memperkeruh pandangan mata, pendengaran, dan hati yang terseret arus zaman. Masih saja aku merasa terasing, dalam sebuah dilemma. Berada di antara nurani dan kutukan.

Aku pun tak tahu kemana angin perubahan ini akan menuju. Gemerisik pada dedaunan menandakan anggun badai memporakporandakan setiap bangunan ideologi kebenaran. Toh mereka anggap di dunia ini tak ada kebenaran yang mutlak, iya ‘kan? Chaos, kekacauan di setiap kemapanan. DIrubuhkan lalu sepoi-sepoi aroma kebebasan nilai ditiupkan, biarlah setiap orang menentukan mata angin di mana ia akan berjalan. Ya, itulah kebebasan. Namun takkan mampu kita pungkiri kemana nurani akan menunjukkan. Kadang turbulensi-turbulensi menjadi seni yang mengusik peradaban, menuntut yang tinggi hari ini untuk terjerembab dalam kehinaan, dan mengangkat yang hina di waktu pagi menjadi raja di senja hari. Setiap hembusan nafas berlomba, meniupkan hawa haus kuasa, masalah cara abaikan saja. Masih saja aku merasa terasing dalam pilihan, mati keracunan atau tetap dalam kehausan.

Aku tak tahu pula kemana pergerakan bumi ini akan membawa. Terus berguncang dalam keterpurukan moral ataukah terdiam dalam kebiadaban. Setiap longsoran selalu membawa muka baru dalam kehidupan, yang sayangnya, suksesi kehidupan tetap tak pernah sempurna terselesaikan. Masih berupa jamur dan lumut, tergilas kembali dengan kebakaran etika, rasa, dan tenggang rasa. Di mana pemimpin yang menjadikan hati sebagai panutan, menyusun kebijakan dengan pemikiran, lalu menggunakan tangannya sendiri untuk membuat perbaikan? Lapisan-lapisan tanah kerakyatan masih saja selalu bongkah, terurai dengan darah, dan tergerus bersama sampah. Retakan-retakan yang menganga, menjadi fondasi bangunan tinggi yang dihiasi lampu-lampu kota. Mercusuar peradaban didirikan di atas pasir-pasir pantai yang lunglai tergoda kebodohan, kesombongan, dan merajalelanya kesesatan pemikiran. Masih, masih saja terasing dalam keserba-salahan, melu edan ora tahan, ora edan ora komanan.

Aku pun tak mengerti, bagaimana episode sandiwara ini akan berhenti. Yang aku tahu, bahwa kita ada di sini, tak hanya untuk diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline