Mereka bilang ini hutan, mereka bilang ini pedalaman, mereka juga bilang ini negeri di atas awan. Akan tetapi, saya menyebutnya sebagai surga tersembunyi, surga yang masih jarang diketahui oleh para manusia. Surga yang terletak di ujung utara Kota Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Itulah gambaran sekilas mengenai tempat yang saya kunjungi selama beberapa hari yang lalu dan saya akan rangkum dalam artikel kali ini.
Jam menunjukan pukul 01.00 dini hari ketika kaki ini berpijak di tanah Banyuwangi tepatnya di kampoeng Batara desa Kalipuro, setelah kurang lebih delapan jam saya dan teman-teman tinggal di kereta. Akhirnya setelah menempuh perjalanan darat kurang lebih satu jam tibalah saya di sebuah desa yang terletak di tengah-tengah hutan. Minimnya penerangan membuat saya sedikit ragu pada awal kedatangan.
Tempat yang begitu gelap ditambah rimbunnya pepohonan semakin membuat saya heran dan bertanya-tanya, bagaimana cara masyarakat desa ini bertahan hidup? Terlepas dari gelapnya suasana kala itu, bintang yang bertaburan dilangit terlihat begitu indah dan terasa begitu dekat dengan saya. Rasa takjub akan kuasa Allah kembali menyelimuti diri saya.
Pada pagi hari saya dan teman-teman sudah berkumpul kembali setelah beristirahat selama kurang lebih 3 jam. Aktivitas pada pagi itu dimulai dengan sarapan bersama. Menu sarapan hari ini sangat berbeda dengan menu-menu yang sudah biasa saya nikmati dan soal rasa jangan ditanya. Rasanya sungguh nikmati ada tahu,tempe,bakwan jagung, dan sayur-sayuran seperti terong, mentimun,daun singkong, sayur kelor tak lupa sambal pedas khas banyuwangi. Usai sarapan bersama saya dan teman-teman berkunjung ke kota untuk memenuhi tugas kuliah.
Kami mengunjungi berbagai tempat diantaranya tempat kerajinan daur ulang koran, kerajinan batik, budidaya lele, kerajinan daur ulang barang bekas hingga tempat pembuatan udeng khas banyuwangi. Setelah mengunjungi tempat tersebut saya dan teman-teman menutup kegiatan pada hari iti dengan pergi ke pantai syariah yang berpasir hitam di kota banyuwangi.
Hari selanjutnya adalah hari yang saya dan teman-teman tunggu. Bagaimana tidak? Hari itu adalah hari dimana saya dan teman-teman berbaur menjadi satu bersama anak-anak kampoeng batara. Wajah-wajah polos yang belum teracuni gadget, game online, maupun hal-hal negative lainnya sangat membuat saya merasa terenyuh sekaligus bangga. Semangat belajar dan pantang menyerah yang mereka miliki merupakan hal yang amat sulit kita jumpai di dalam diri anak perkotaan. Keterbatasan yang ada tidak pernah menyurutkan tekad dalam menggapai cita-cita.
Pada awalnya saya merasa sedikit sulit berkomunikasi dengan mereka karena kendala bahasa yang mereka gunakan. Masyarakat di kampung batara mayoritas menggunakan bahasa osing banyuwangi dan bahasa maduru namun, lambat laun saya mulai terbiasa dan sedikit demi sedikit bisa memahami percakapan anak-anak dan masyarakat kampoeng batara. Disana saya belajar banyak hal, mulai dari belajar memasak, belajar untuk berbaur dengan alam sekitar, belajar lagu-lagu dan permainan khas Banyuwangi hingga belajar makna kehidupan yang sesungguhnya.
Hari terakhir pun tiba, rasa sedih dan bahagia bercampur menjadi satu saat saya dan teman-teman berpamitan pulang dengan masyarakat kampoeng batara. Keramahan, kesederhanaan serta semangat juang dalam meraih kehidupan yang lebih baik menjadi pelajaran berharga bagi saya. Isak tangis pun tak dapat dibendung saat kami berjabat tangan, tak ada yang lebih indah dari kerukunan dan kasih sayang yang diberikan masyarakat kampoeng batara berikan pada saya dan teman-teman. Semoga kita bisa berjumpa di lain waktu dengan kedaan yang berbeda, dimana anak-anak kampoeng batara menjadi sosok yang yang sukses di masa depan. Aamiinn . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H