Lihat ke Halaman Asli

Isnaini Khomarudin

editor lepas dan bloger penuh waktu

Ketika Penglihatan Justru Menyengsarakan: Mungkinkah Bertobat Lewat Film Memikat?

Diperbarui: 2 April 2024   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cahaya bisa jadi berkat atau mudarat (pexels/Johannes Plenio)  

PERCAYA TIDAK bahwa karunia Tuhan sering kali justru kita rasakan lebih banyak saat kita dalam kondisi tidak punya ketimbang sebaliknya? Saya ingin menjawab pertanyaan ini melalui ulasan pendek film yang pernah saya tonton berjudul The Willow Tree.

Namun sebelum mengulas film tersebut, ada sebuah fragmen pada suatu sore yang tak mungkin saya lupakan. Saya duduk di pojok serambi Masjid Namira, tengah menunggu si bungsu yang mengaji di dalam.

Baru sekian menit membuka ponsel pintar, saya terhenyak oleh suara merdu yang menyenandungkan shalawat. Harmoni irama terdengar dari beberapa pemilik suara yang berbeda. Saya melirik ke kiri dan tampaklah di sana sekelompok jemaah perempuan muda terduduk dengan santai.

Mereka melantunkan shalawat secara bergantian, sambung menyambung dengan nada-nada indah yang memukau. Saya kian terpesona saat seorang di antara mereka mengakhiri sesi shalawat dengan langgam tilawah khas mujawwad sebagaimana kerap dibawakan oleh qari kondang Muammar ZA.  

Nikmat penglihatan

Setelah itu, mereka bangkit dan bergerak bergandengan menuju ruang utama shalat wanita dari pintu timur. Dibantu seorang pemandu. Entah dari kota mana rombongan mereka. Namun, siapa pun langsung tahu bahwa selain pemandu, seluruh perempuan dalam kelompok tersebut adalah penyandang tunanetra.

Begitu mereka hilang dari pandangan, saya pun memejamkan mata selama beberapa saat. Hanya gelap yang tertangkap, mungkin ada seberkas cahaya di serambi timur karena ditimpa matahari sore. Selebihnya, hanya kendaraan yang lalu lalang terdengar. Mesin berderum bersahutan, ditingkahi percakapan orang-orang dari berbagai arah.

Ketika membuka mata, saya bersyukur sejadi-jadinya. Allah SWT bisa saja merampas kenikmatan berupa mata, tapi tanpa bayar sepeser pun penglihatan berpijar sejak kanak sampai kini dengan kemampuan luar biasa mengakses berbagai informasi penting di dunia. Warna-warni semesta menjadi mungkin dinikmati berkat kedua mata kita.

Sepenggal fragmen itu lantas memanggil memori saat menonton film produksi Iran yang judulnya saya sebutkan di awal tulisan. Kalau harus menyebut film yang bikin saya tobat, The Willow Tree atau beed-e majnoon adalah salah satunya. Tobat dalam pengertian seluas-luasnya, yakni kembali kepada pemahaman yang benar mengenai agama dan karunia Allah SWT yang sesungguhnya.

Yang hilang dan yang datang

Film yang disutradarai oleh Majid Majidi ini mengisahkan perjalanan Youssef, seorang profesor yang mengajar sastra di universitas meskipun ia seorang tunanetra. Secara khusus Youssef mengajarkan puisi-puisi klasik, termasuk karya masterpiece Jalaluddin Rumi berjudul Matsnawi.

Film dibuka dengan Youssef yang menyisipkan secarik surat ke dalam salah satu jilid Matsnawi berbahasa Persia sebelum ia bertolak ke Prancis untuk menjalani operasi mata. Matanya buta karena kecelakan saat berusia delapan tahun dan kini ditemukan tumor jinak yang mesti diangkat dari balik matanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline