KALAU TEMAN-TEMAN sering menuturkan kenangan bersama buku-buku karya Enid Blyton, Roald Dahl, Beatrix Potter, atau Astrid Lindgren, maka saya hanya bisa mengenang koran harian yang dibawa bapak sepekan sekali. Bapak bekerja sebagai sekretaris desa atau dulu disebut carik yang banyak mengurus administrasi seperti surat-menyurat di desa. Saya bersyukur punya ayah yang gemar membaca, salah satunya surat kabar yang kadang ia dapatkan secara cuma-cuma dari tetangga yang seorang loper di Surabaya.
Tetangga itu pulang seminggu sekali dan kerap menghibahi koran bekas yang tak laku. Jadi memang jarang kami membaca koran edisi terbaru setiap hari. Itu saja sudah jadi kemewahan tersendiri di kampung yang warganya tak suka membaca. Nah, selain majalah Bobo yang saya kenal kemudian, ada satu judul buku yang paling saya ingat sampai sekarang. Rasanya sangat pas untuk diceritakan pada bulan Mei karena pekan ini masih beratmosfer Hari Buku Nasional.
Buku dari pengarang lokal
Pengalaman Masa Kecil adalah buku karangan Nur Sutan Iskandar yang paling saya ingat. Boleh jadi inilah satu-satunya buku cerita yang masih tertoreh cukup kuat dalam benak memori. Saya tak tahu bagaimana ceritanya buku ini bisa ada di rumah. Buku terbitan Balai Pustaka tahun 1979 setebal 184 halaman ini tiba-tiba saja mudah saya temukan untuk dibaca kapan saja. Saya lupa waktu itu SD kelas berapa, yang jelas sangat menikmati membacanya.
Dugaan terkuat buku itu dipinjam dari perpustakaan keliling yang sesekali singgah ke kantor desa. Ada bus mini berawarna biru yang kadang datang ke desa dengan membawa deretan buku yang seingat saya ya itu-itu saja. Nur Sutan Iskandar yang lebih dikenal karena novel Salah Pilih mengisahkan pengalamannya sejak kecil hingga menjadi guru. Kisah sederhana itulah yang mungkin menarik perhatian saya sebab kami sama-sama anak desa.
Kehidupan yang dituliskan dalam buku Pengalaman Masa Kecil sungguh dekat dengan masa kecil, seperti belajar di surau atau langgar, bermain bersama teman, keakraban dengan nenek, dan sebagainya. Salah satu fragmen yang paling saya ingat adalah makan besar yang tokoh utama alami dalam buku ini. Suatu hari ia mendapat tugas untuk menjaga rumah neneknya di kebun sebab sang nenek hendak menghadiri perjamuan.
Saat itulah tercetus sebuah ide. Ia mengundang 6 orang temannya untuk menemaninya di rumah sang nenek. Saat malam tiba, kelaparan mendera. Mereka bertujuh sepakat memasak bersama yang mereka sebut "makan besar". Mungkin semacam pesta bagi orang kota. Ada yang menanak nasi, memotong dan menyiapkan ayam untuk digulai, dan membumbui hingga hidangan siap disantap.
Untuk memuluskan hajatan makan besar, mereka harus memanjat kelapa untuk membuat santan. Sambung menyambung mereka memanjat untuk mengoper butir demi butir kelapa yang dibutuhkan. Saat menurunkan kelapa secara bergantian itulah, ada seseorang yang lewat yang membuat mereka panik dan jatuh bertubrukan di tanah. Untunglah pohon kelapa yang mereka panjat terbilang rendah sehingga tak ada luka serius yang ditimbulkan.
Kekompakan dan kesigapan
Lebih dari itu, yang membuat buku ini terkenang-kenang adalah kekompakan anak-anak itu dalam menyiapkan masakan secara mandiri tanpa bantuan tangan perempuan. Mereka terbiasa sigap dan tak pernah canggung mengulurkan tangan untuk membantu para ibu di dapur sehingga memasak menjadi hal lumrah. Kesadaran ini terbukti relevan dengan fakta kekinian ketika para chef cowok menemukan momentumnya. Mungkin juga berkat buku itu saya jadi gembira membantu istri setiap kali memasak bersama.
Itulah buku kesayangan saya sewaktu masih kecil, buku karya pengarang lokal yang bagi saya sangat fenomenal dan agak sulit ditemukan pada masa kini. Membaca cerita karya penulis asing tentu bagus untuk memperkaya wawasan, tapi menyerap kisah-kisah berbasis lokalitas tak bisa diremehkan.