[caption caption="Public Opinion"]Sumber: hidayatullah.com
Mirna lagi, Mirna lagi. Tak kurang dari sebulan sejak kasus kematian Mirna, media berlomba-lomba menganalisa, mendatangkan pakar, hinggga turut penasaran dgn kisah hidupnya, tak ketinggalan orientasi seksualnya.
Semua tentu sah-sah saja, toh Indonesia negara demokrasi, rakyat boleh berargumen, curhat di medsos, tapi belakangan ini dibatasi dgn hate speech regulation. Entahlah, tujuannya apa. Tumpang tindih aturan negara kita masalah beraspirasi ini, katanya dijamin UUD, rakyat curhat sedikit masalah rumah sakit, akibatnya hampir masuk penjara.
Back to Mirna. Bahkan sekalipun dia sudah 'tidak ada', sempat-sempatnya media memanfaatkan namanya. Meminjam istilah seorang sahabat, telat tenar.
Dan siapa yg tega meracun Mirna hingga terkapar tak berdaya? Kasus ini menarik, karena ceritanya laiknya drama Korea. Sahabat yg dendam, tak ubahnya kisah "49 Days." Surprisingly, ternyata kisah Mirna hampir menyerupai (tidak sama persis) dengan sebuah kasus dalam komik Detective Conan. Ada 2 saksi, kopi yang dicampur racun, sama-sama sahabat, menggiring opini publik, ya, pelakunya pasti yang memesan kopi.
Sejak awal kemunculan kasus, kita sama-sama terhenyak dengan sosok J. Sahabat almarhumah yg tenang sekali, hampir selalu tersenyum tiap kali ditanya wartawan, bahkan mau hadir sebagai narasumber dlm berbagai siaran berita. Anda melihat sahabat Anda kejang-kejang, depan mata kepala Anda sendiri, dan masih tenangnya menyeruput kopi? Luar biasa, bukan. Kalau saya seperti itu, pasti sudah histeris, heboh bahkan jejeritan.
Ketika J ditetapkan sebagai tersangka, tentu masyarakat tak heran. Dan memang, saya kira, dari awal kemunculan berita, opini publik dibentuk, bahwa ya, pelakunya si Jessica, sejak statusnya masih saksi.
Lupa sudah masyarakat tentang asas presumption of innocence, seseorang tak patut dinyatakan bersalah sebelum ada inkracht, keputusan tetap. Alih-alih inkracht, ini sidang aja belum, masyarakat sudah sok tau, sibuk dgn analisanya sendiri, dan banyak yang jadi pakar cocoklogi.
Dan herannya, ada saja yang punya waktu bikin meme. Jenius sungguh masyarakat kita ini kalau sudah menyangkut meme. "Bang, ngopi yuk, eneng yg traktir," mondar mandir di timeline fb, twitter, jadi DP bbm, bahkan absurdnya ada juga yang sharing di grup sesama calon lawyer.
Hellyeah. Kalo ga tau duduk perkara, ga usah komen seakan-akan paling maha segala. Yang denger enek, dan percayalah, dengan sok tau, Anda ga keliatan pintar, justru sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H